Satu Peta, Banyak Masalah: Konflik Agraria Masih Jadi PR Besar

Lahan tumpang tindih masih jadi persoalan besar. Kebijakan Satu Peta harus lebih dari sekadar sinkronisasi data—solusi nyata bagi konflik agraria jadi kebutuhan. Foto: Ilustrasi/ Cup of Couple/ Pexels.

PEMERINTAH telah menggelontorkan berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik agraria di Indonesia, salah satunya melalui Kebijakan Satu Peta (KSP). Namun, hingga kini, kebijakan ini dinilai belum memberikan dampak signifikan terhadap penyelesaian konflik lahan yang melibatkan masyarakat adat, komunitas lokal, dan perusahaan swasta.

Tumpang Tindih Lahan Masih Tinggi

Data terbaru menunjukkan bahwa luas lahan tumpang tindih memang mengalami penurunan, dari 77,3 juta hektar menjadi 54,4 juta hektar pada 2024. Namun, menurut Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Imam Hanafi, angka tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan keberhasilan dalam penyelesaian konflik agraria.

Baca juga: Mafia Tanah di Balik 6,4 Juta Hektare Lahan Tumpang Tindih

“Penurunan angka ini lebih banyak berasal dari sinkronisasi antar kementerian atau lembaga, bukan dari penyelesaian konflik di lapangan yang melibatkan masyarakat dan sektor swasta,” ujar Imam dalam media briefing daring, pertengahan Februari.

Konflik Agraria, Tantangan yang Belum Teratasi

Sinkronisasi internal pemerintah memang penting, tetapi tidak cukup untuk mengurangi konflik agraria yang nyata di lapangan. Berdasarkan data JKPP, hingga 2024 terdapat 562 kasus konflik agraria yang tersebar di berbagai wilayah, mencakup total area sekitar 5,15 juta hektar.

Baca juga: Salah Gusur di Bekasi, Potret Buram Hukum Agraria RI

Konflik ini berdampak langsung pada sekitar 868.000 jiwa, terutama masyarakat adat dan komunitas lokal yang bergantung pada lahan untuk kehidupan mereka.

Kebijakan Satu Peta diharapkan mampu menyelesaikan konflik agraria. Namun, benarkah dampaknya sudah terasa di lapangan? Foto: Ilustrasi/ GeoJango Maps/ Pexels.

Sektor perkebunan, kawasan hutan, dan pertambangan menjadi area dengan kasus konflik tertinggi. Tumpang tindih perizinan Hak Guna Usaha (HGU) dengan wilayah masyarakat adat sering kali menjadi pemicu utama. Sementara di kawasan pesisir dan laut, proyek investasi besar juga kerap berbenturan dengan hak-hak masyarakat lokal.

Asia Land Forum 2025, Momentum Evaluasi

Dengan situasi yang masih jauh dari ideal, Imam Hanafi menekankan pentingnya Asia Land Forum (ALF) 2025 sebagai ajang diskusi yang dapat mempertemukan berbagai pihak terkait. Forum ini bisa menjadi ruang dialog antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk mencari solusi konkret terhadap konflik agraria yang masih mengakar.

Baca juga: Terungkap,194 Perusahaan Sawit Kelola 1 Juta Hektare tanpa Izin

“Pemerintah harus lebih transparan dan inklusif dalam implementasi Kebijakan Satu Peta. Jangan hanya fokus pada sinkronisasi data internal, tetapi benar-benar menyelesaikan akar permasalahan di lapangan,” tegasnya.

Masa Depan Kebijakan Satu Peta

Kebijakan Satu Peta sejatinya merupakan langkah progresif dalam reformasi tata kelola lahan di Indonesia. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada bagaimana data yang dikumpulkan dapat diterjemahkan menjadi kebijakan yang berpihak kepada masyarakat yang terdampak.

Tanpa penyelesaian konflik yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, KSP berisiko menjadi sekadar proyek administratif tanpa dampak nyata bagi keadilan agraria di Indonesia. ***

Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *