Sungai Dunia Tercemar Antibiotik, Indonesia Tak Boleh Lalai

Ribuan ton antibiotik mencemari sungai dunia, Indonesia perlu waspada. Foto: Ilustrasi/ Yogendra Singh/ Pexels.

AIR mengalir tenang. Namun di balik kejernihannya, tersembunyi ancaman yang nyaris tak terlihat: residu antibiotik. Tanpa disadari, zat yang menyelamatkan nyawa manusia kini mengancam kehidupan lain di bumi—khususnya di perairan.

Sebuah studi global yang dipimpin oleh McGill University, Kanada, mengungkap fakta mengejutkan. Sekitar 8.500 ton antibiotik dari konsumsi manusia masuk ke sistem sungai setiap tahun. Jumlah ini setara dengan hampir sepertiga dari total penggunaan antibiotik di seluruh dunia.

Lebih mencemaskan, pencemaran ini terus berlangsung meski limbah sudah melewati sistem pengolahan air. Artinya, sistem sanitasi kita masih memiliki celah besar. “Paparan antibiotik dalam dosis rendah namun terus-menerus bisa mendorong resistensi obat dan merusak ekosistem,” ujar Heloisa Ehalt Macedo, peneliti utama studi ini.

Dari Rumah ke Sungai

Bagaimana antibiotik bisa masuk ke sungai? Prosesnya bermula dari tubuh manusia. Setelah dikonsumsi, sebagian antibiotik dibuang lewat urin dan feses. Limbah ini lalu mengalir ke sistem pengolahan air. Sayangnya, teknologi pengolahan air di banyak negara—terutama negara berkembang—belum mampu menyaring antibiotik secara efektif.

Model global yang dikembangkan tim peneliti, dan divalidasi dengan data lapangan dari hampir 900 titik sungai di seluruh dunia, menunjukkan bahwa Asia Tenggara adalah wilayah dengan tingkat risiko tertinggi. Tingginya konsumsi antibiotik dan lemahnya infrastruktur sanitasi jadi pemicu utama.

Baca juga: Bali Larang Air Kemasan, tapi Bungkam Soal Sampah Sachet

Antibiotik yang paling sering terdeteksi dalam konsentrasi tinggi adalah amoksisilin, salah satu obat yang paling umum digunakan untuk infeksi ringan hingga sedang. Kandungan amoksisilin dalam sungai cukup signifikan untuk mendorong terbentuknya superbugs—bakteri yang kebal terhadap pengobatan.

Bahaya Ganda, Ekosistem dan Kesehatan Publik

Pencemaran antibiotik bukan hanya soal air yang kotor. Dampaknya jauh lebih luas. Bakteri yang terpapar antibiotik dalam jangka panjang bisa bermutasi menjadi jenis yang kebal. Jika masuk ke tubuh manusia, infeksi yang dulu mudah diobati bisa berubah menjadi ancaman serius.

Aliran sungai yang melintasi kawasan permukiman padat penduduk. Pencemaran antibiotik di perairan kini menjadi ancaman global yang tak lagi kasatmata, namun nyata dampaknya bagi manusia dan lingkungan. Foto: Ilustrasi/ Mohit Parashar/ Pexels.

Selain itu, organisme air seperti plankton, ikan, dan mikroba alami yang menjaga keseimbangan ekosistem sungai juga ikut terdampak. “Ada risiko terganggunya rantai makanan di perairan, dan itu bisa merusak stabilitas ekologi sungai secara menyeluruh,” ungkap Bernhard Lehner, profesor hidrologi global di McGill.

Peternakan dan Industri, Sumber Lain yang Terlupakan

Yang membuat situasi ini makin genting adalah kenyataan bahwa data dalam studi ini hanya mencakup antibiotik dari konsumsi manusia. Padahal, sektor peternakan dan industri farmasi juga menjadi kontributor besar pencemaran.

Baca juga: Jejak Karbon Tersembunyi dari Industri Farmasi

“Jika kita tambahkan antibiotik dari peternakan dan industri, tingkat pencemarannya bisa jauh lebih besar,” kata Jim Nicell, profesor teknik lingkungan McGill. Ia menegaskan perlunya program pemantauan kontaminan air secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Warning untuk Indonesia dan Dunia

Bagi negara seperti Indonesia, temuan ini harus jadi peringatan keras. Kita berada di kawasan yang rawan pencemaran antibiotik. Penggunaan antibiotik di masyarakat sering kali tidak dikontrol, sementara sistem pengolahan air limbah masih belum memadai.

Di sisi lain, Indonesia juga sedang membangun agenda besar dalam praktik keberlanjutan dan pengelolaan sumber daya air. Artinya, ini bukan hanya isu lingkungan, tapi juga persoalan tata kelola kesehatan, industri, dan pangan.

Baca juga: Anak Zaman Now, Korban Iklim Masa Lalu

Teknologi pengolahan limbah memang penting. Namun langkah mitigasi harus dimulai lebih awal: penggunaan antibiotik yang bijak dan terkontrol. Di sisi hilir, perbaikan infrastruktur sanitasi dan investasi dalam teknologi penyaringan canggih jadi prioritas mendesak.

Lebih penting lagi, kesadaran publik dan regulasi yang kuat harus berjalan seiring. Tanpa keduanya, ancaman ini akan terus membayangi generasi mendatang.

Air sungai mungkin terlihat jernih. Tapi di balik alirannya, ada krisis yang mendesak untuk diselesaikan. Antibiotik yang selama ini jadi penyelamat, bisa berubah jadi ancaman jika kita lengah. ***

Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *