
DI BALIK aroma gurih tahu yang diproduksi di Desa Tropodo, Krian, Sidoarjo, tersembunyi jejak panjang pencemaran yang mengkhawatirkan. Desa yang dikenal sebagai sentra produksi tahu sejak 1940-an ini, kini menjadi sorotan serius Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Pasalnya, mayoritas industri tahu di kawasan ini menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar utama dalam proses produksinya.
Alasan ekonomis memang menjadi pembenaran utama. Plastik lebih murah dan mudah diakses. Namun, pilihan ini ternyata membawa dampak lingkungan yang besar dan tak kasat mata—dari udara hingga tanah, dari tubuh manusia hingga hewan.
Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara KLH, Nixon Pakpahan, menyebut praktik ini sebagai ancaman nyata bagi kesehatan publik. “Pencemaran ini bukan hanya lokal, tapi menyebar dan berbahaya bagi masyarakat luas,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (17/6).
Sampah Plastik Jadi Bahan Bakar
Pembakaran plastik dalam suhu rendah tanpa sistem pengendalian emisi menghasilkan zat beracun seperti dioksin dan furan. Kedua zat ini termasuk dalam kelompok Persistent Organic Pollutants (POPs)—senyawa yang bersifat toksik, karsinogenik, dan mampu bertahan lama dalam rantai makanan serta lingkungan.
Baca juga: Tahu Asap Plastik: Murah di Harga, Mahal di Risiko
KLH telah menurunkan tim ke lapangan pada Sabtu (14/6), bertemu langsung dengan pelaku industri tahu setempat. Hasil kajian bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sidoarjo membenarkan kekhawatiran itu.

Polusi Udara dan Air Melampaui Batas
Udara ambien di radius 100–500 meter dari lokasi pembakaran menunjukkan kualitas tidak sehat menurut Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Cerobong pabrik terpantau melepaskan partikulat tinggi, karbonmonoksida (CO), dan hidrogen fluorida (HF)—semuanya melebihi ambang batas baku mutu, terutama di wilayah Dusun Areng-Areng.
Baca juga: Dampak Plastik, Studi Ungkap Ratusan Ribu Kematian per Tahun
Kondisi air dan tanah pun tak kalah mengkhawatirkan. Uji sampel air menunjukkan kandungan fecal coliform mencapai 3,5 juta dan total coliform lebih dari 5,4 juta, jauh melampaui batas aman. Di tanah Dusun Klagen, ditemukan kadar dioksin/furan hingga 4.030 pg/g. Bahkan, senyawa berbahaya ini juga ditemukan dalam telur ayam dan cacing tanah—indikasi kuat telah terjadi proses bioakumulasi.
Transisi Energi untuk Industri Kecil
Dengan sekitar 44 unit industri kecil-menengah (IKM) beroperasi di Tropodo, dampak polusi ini berpotensi menyebar lebih luas. Terutama mengingat kedekatan lokasi dengan pemukiman warga dan aktivitas pertanian.
Baca juga: Studi Greenpeace-UI: Mikroplastik Mengancam Fungsi Otak
Langkah tegas dibutuhkan, namun juga adil dan berperspektif keberlanjutan. Perlu disiapkan transisi energi untuk IKM tahu, dengan dukungan akses teknologi ramah lingkungan dan insentif ekonomi agar mereka tidak kembali pada praktik murah yang merusak.
Isu ini menjadi cermin bahwa praktik industri kecil yang dianggap “tidak berbahaya” bisa membawa dampak besar jika tak dikontrol. Ini bukan semata soal produksi tahu, tapi tentang masa depan kualitas hidup masyarakat dan ekosistem kita. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.