
Oleh: Hamdani S Rukiah, SH, MH *
PERTANAHAN di Indonesia selalu menjadi permasalahan kompleks yang tidak hanya melibatkan kebijakan publik dan kepastian hukum, tetapi juga menyentuh aspek keadilan sosial. Meskipun Indonesia memiliki berbagai regulasi yang mengatur kepemilikan tanah, ketimpangan dalam distribusi tanah tetap menjadi tantangan besar.
Tanah yang seharusnya menjadi milik rakyat banyak, justru terkonsentrasi pada segelintir orang dan korporasi besar. Ketidakadilan ini tidak hanya menambah kesenjangan sosial, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip dasar hukum yang telah lama diamanatkan oleh konstitusi.
Landasan Hukum untuk Keadilan Sosial
Konstitusi Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 mengamanatkan bahwa penguasaan tanah harus mengedepankan kesejahteraan rakyat, bukan hanya segelintir orang.
Baca juga: Salah Gusur di Bekasi, Potret Buram Hukum Agraria RI
Namun kenyataannya, ketimpangan dalam penguasaan tanah tetap berlangsung. Sebagian besar tanah di Indonesia, terutama tanah produktif, dikuasai oleh korporasi besar atau individu kaya, sementara masyarakat kecil kesulitan mendapatkan akses untuk mengelola tanah.
Lebih jauh lagi, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria memberi dasar hukum yang jelas terkait pembagian hak atas tanah. Dalam UU tersebut, negara memiliki kewajiban untuk mengatur penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi kesejahteraan rakyat. Namun, implementasi kebijakan tersebut seringkali terkendala oleh berbagai praktik buruk, seperti mafia tanah dan pengabaian hak-hak rakyat kecil.
Praktik Ketimpangan dan Mafia Tanah
Mafia tanah adalah musuh utama dalam mewujudkan keadilan sosial di bidang pertanahan. Kejahatan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk oknum aparat pemerintah, yang secara ilegal menguasai atau memanipulasi tanah untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Penyalahgunaan wewenang dalam pengalihan hak kepemilikan tanah menambah ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat, terutama kelompok miskin dan marginal.
Baca juga: Mafia Tanah di Balik 6,4 Juta Hektare Lahan Tumpang Tindih
Upaya pemerintah untuk memberantas mafia tanah harus lebih tegas dan berkelanjutan. Seperti yang disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, penindakan terhadap mafia tanah harus melibatkan penegakan hukum yang kuat, termasuk pemiskinan melalui Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Hal ini menunjukkan bahwa mafia tanah tidak hanya merugikan rakyat, tetapi juga merusak tatanan hukum yang sudah dibangun dengan susah payah.
Keadilan Sosial Pancasila, Landasan untuk Tanah bagi Semua
Dalam perspektif Pancasila, sila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” menjadi landasan yang sangat relevan untuk menyelesaikan permasalahan ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia.
Pancasila menegaskan bahwa negara harus hadir untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang kurang mampu, mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh tanah dan mengelola sumber daya alam. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan sosial yang mengharuskan pemerataan kekayaan agar tidak hanya dinikmati oleh sekelompok orang saja.
Baca juga: Bencana Ekologis Jabodetabek, Mengapa Pejabat Tak Pernah Dipidana?
Pancasila mendorong kita untuk berpikir bahwa tanah bukanlah milik segelintir orang atau kelompok tertentu, tetapi hak setiap warga negara untuk mengaksesnya dengan adil. Dengan landasan ini, Pancasila mengingatkan bahwa distribusi kekayaan alam, termasuk tanah, harus dilakukan secara merata, agar tidak tercipta jurang kesenjangan yang semakin lebar antara kaya dan miskin.
Dalam konteks ini, distribusi tanah yang adil bagi rakyat, khususnya petani kecil dan masyarakat miskin, bukan hanya sebuah harapan, tetapi suatu keharusan yang menjadi tanggung jawab negara.
Pemerataan Tanah untuk Kesejahteraan Bersama
Pemerintah harus lebih serius dalam merumuskan kebijakan yang tidak hanya mengedepankan kepentingan korporasi besar, tetapi juga melibatkan rakyat dalam proses distribusi tanah. Menyadari pentingnya pemerataan tanah sebagai bagian dari pelaksanaan nilai Pancasila, pemerintah seharusnya memprioritaskan pemberian hak atas tanah kepada mereka yang membutuhkan.
Selain itu, kebijakan ini harus dilandasi oleh prinsip keadilan sosial yang mengutamakan kepentingan masyarakat banyak, bukan hanya sekelompok orang kaya.

Sebagai langkah konkret, pemberian Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) perlu dipertimbangkan dengan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Pemerintah juga harus memberikan kemudahan akses bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk memperoleh hak-hak tersebut, sehingga sektor usaha kecil bisa berkembang tanpa terkendala oleh dominasi usaha besar. Dengan demikian, sektor usaha kecil dapat turut berperan dalam pembangunan ekonomi yang lebih merata.
Lebih jauh lagi, kebijakan plasma antara perusahaan besar dan masyarakat harus diperkuat, dengan meningkatkan persentase plasma yang melibatkan rakyat. Ini adalah bentuk nyata penerapan sila kelima Pancasila, di mana perusahaan besar tidak hanya mencari keuntungan sendiri, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat sekitar.
Pancasila sebagai Pengingat untuk Tanah yang Adil
Melalui pendekatan Pancasila ini, kita diingatkan bahwa negara harus bertindak adil dalam pembagian hak atas tanah. Dengan melaksanakan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam sila kelima, kita dapat menciptakan Indonesia yang lebih berkeadilan dan harmonis. Tanah untuk semua, bukan hanya untuk segelintir orang, adalah cita-cita bersama yang harus diwujudkan melalui kebijakan yang berpihak pada rakyat banyak.
Digitalisasi Sertifikat Tanah, Kunci Kepastian Hukum
Dalam upaya menciptakan kepastian hukum, digitalisasi sertifikat tanah menjadi langkah yang sangat penting. Sertifikat tanah yang terbit antara tahun 1961 hingga 1997 masih banyak yang berbentuk analog, yang rawan terhadap kerusakan dan pemalsuan. Oleh karena itu, digitalisasi sertifikat tanah menjadi sebuah kebutuhan mendesak. Proses ini tidak hanya akan melindungi sertifikat dari kerusakan fisik, tetapi juga meningkatkan keamanan dan mencegah tumpang tindih kepemilikan.
Baca juga: Sertifikat Tanah Ganda, Warisan Administrasi yang Jadi Bom Waktu
Dengan target 50% sertifikat tanah terdigitalisasi pada akhir 2025, dan 100% dalam lima tahun ke depan, digitalisasi dapat memastikan bahwa hak atas tanah tercatat dengan jelas dan tidak dapat diganggu gugat. Ini adalah langkah yang sangat penting dalam mewujudkan keadilan sosial melalui kepastian hukum.
Mengakhiri Ketimpangan untuk Keadilan Sosial
Ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian lebih. Tidak cukup hanya dengan peraturan hukum yang ada; implementasi yang adil dan merata harus dijalankan agar tanah benar-benar dapat dimiliki oleh rakyat, sesuai dengan prinsip keadilan sosial.
Dengan menegakkan hukum, memberantas mafia tanah, dan memastikan akses yang lebih adil terhadap hak atas tanah, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita keadilan sosial yang sejati. Ini adalah pekerjaan besar, tetapi juga tugas yang harus dilaksanakan untuk masa depan yang lebih adil bagi semua warga negara. ***
- Jurnalis, pemerhati keadilan sosial, hukum bisnis, dan hukum lingkungan.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.