Tradisi Mudik, Mengapa Selalu Dinantikan?

Para pemudik rela bermacet-macetan demi mudik Lebaran, momen sakral untuk berkumpul bersama keluarga di kampung halaman. Foto: Instagram/ @setirkanan.

MUDIK saat Idul Fitri sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Setiap tahun, jutaan orang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman.

Tahun ini, jumlah pemudik diprediksi di atas 123 juta orang, didominasi pergerakan urban lintas Jawa dari Jabodetabek menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, apakah tradisi ini sekadar rutinitas atau memiliki akar sejarah yang lebih dalam?

Jejak Sejarah Mudik di Indonesia

Mudik bukanlah fenomena baru. Menurut Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Bondan Kanumuyoso, tradisi pulang ke kampung halaman telah terjadi sejak era migrasi manusia dari pedalaman ke kota.

Secara etimologis, kata “mudik” berasal dari bahasa Melayu kuno “udik” yang berarti selatan atau hulu. Konsep ini mengacu pada masa Batavia, di mana wilayah di luar tembok kota bagian selatan menjadi pemasok hasil bumi bagi kota.

Baca juga: Ramadan di Era Digital: Gen Z, Medsos, dan Tren Puasa Masa Kini

Namun, mudik dalam konteks Idul Fitri baru populer pada era 1970-an. Pada masa kolonial, tidak ada sistem transportasi masif yang mengakomodasi pergerakan besar-besaran, sehingga konsep mudik saat itu tidak relevan. Baru setelah perkembangan infrastruktur dan transportasi modern, tradisi ini menjadi bagian penting dalam budaya masyarakat Indonesia.

Mengapa Harus Mudik?

Mudik bukan hanya tentang perjalanan fisik, tetapi juga memiliki dimensi psikologis dan sosial. Agus Maladi Irianto dalam jurnalnya “Mudik dan Keretakan Budaya” menilai bahwa mudik menjadi cara bagi manusia urban untuk mengobati stres dan mengisi kekosongan jiwa. Perjalanan pulang ini memberikan rasa keterhubungan dengan akar budaya dan identitas asal.

Umar Kayam, seorang budayawan, juga mengaitkan mudik dengan tradisi leluhur. Dalam budaya agraris Jawa, pulang ke kampung halaman sering dikaitkan dengan ritual ziarah kubur sebagai penghormatan kepada para pendahulu. Tradisi ini bertahan meskipun mengalami akulturasi dengan ajaran Islam.

Secara sosial, mudik juga menjadi ajang bagi perantau untuk kembali ke desa dengan status sosial yang berbeda. Kesuksesan di kota sering kali menjadi inspirasi bagi generasi muda di desa untuk mengikuti jejak yang sama. Kota dipandang sebagai tempat mencari penghidupan, sementara desa tetap menjadi akar yang memberikan identitas.

Mudik dan Tantangan di Masa Depan

Dengan angka pemudik yang terus meningkat, tantangan yang dihadapi pun semakin kompleks. Infrastruktur transportasi harus terus berkembang untuk mengakomodasi pergerakan massal ini. Selain itu, faktor ekonomi dan perubahan gaya hidup juga dapat mempengaruhi bagaimana tradisi mudik berkembang di masa depan.

Baca juga: Mengapa Penumpang Selalu Naik Pesawat dari Sisi Kiri?

Mudik bukan sekadar perjalanan tahunan. Mudik adalah bagian dari identitas kultural yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan. Dalam setiap perjalanan pulang, tersimpan cerita, harapan, dan kerinduan yang terus hidup di hati masyarakat Indonesia. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *