Trotoar, Hak Pejalan Kaki yang Terabaikan?

Trotoar di Jalan Satrio, Jakarta Selatan, dipenuhi parkir motor dan pekerja jasa pengiriman online yang menyortir paket kiriman di atas badan trotoar, menghambat ruang bagi pejalan kaki. Foto: Haru/ MulaMula.

JAKARTA masih pagi. Trotoar di kawasan Jalan Satrio mulai ramai. Pejalan kaki melangkah cepat, mengejar waktu. Tapi tak sedikit yang harus mengalah. Trotoar yang seharusnya menjadi milik mereka, kini penuh dengan parkir liar, pedagang kaki lima (PKL), dan para pekerja jasa pengiriman online yang menyorir paket kiriman, bahkan kendaraan yang melawan aturan.

Bukan hanya di Jakarta, kondisi ini juga terlihat di banyak kota besar lain di Indonesia. Hak pejalan kaki seakan hanya ada dalam aturan, bukan kenyataan. Siapa sebenarnya yang berhak atas trotoar?

Trotoar, Antara Regulasi dan Realita

Secara hukum, trotoar adalah hak eksklusif pejalan kaki. Pasal 131 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menegaskan, pejalan kaki berhak atas fasilitas pendukung seperti trotoar, tempat penyebrangan, dan fasilitas lainnya. Namun, aturan tinggal aturan.

Di lapangan, fungsi trotoar sering bergeser. Di pusat kota, PKL menjadikannya lapak usaha. Di gang sempit, kendaraan parkir seenaknya. Di beberapa titik, ojek online menjadikannya titik penjemputan. Semua berebut ruang.

Baca juga: Avenida 9 de Julio, Jalan Terlebar di Dunia yang Menakjubkan

Menurut Urban Planner Marco Kusumawijaya, masalah utama ada pada tata kelola dan pengawasan. “Trotoar kita tidak dipandang sebagai hak warga. Pemerintah membiarkan okupansi liar karena ada kepentingan ekonomi dan lemahnya penegakan hukum,” ujarnya pada sebuah kesempatan.

Dampak bagi Pejalan Kaki

Ketika trotoar tak lagi aman, pejalan kaki harus turun ke jalan. Risikonya besar. Data Kementerian Perhubungan menyebut, pada 2023, sebanyak 7.000 kasus kecelakaan melibatkan pejalan kaki. Sebagian besar karena mereka terpaksa berjalan di bahu jalan akibat trotoar yang tak layak.

Trotoar semestinya seperti ini—bebas dari intervensi siapa pun, menjadi ruang lalu lintas publik yang aman dan nyaman, termasuk bagi penyandang disabilitas. Foto: Haru/ MulaMula.

Bagi Gen Z dan pekerja urban yang mengandalkan transportasi umum, trotoar yang nyaman adalah kebutuhan dasar. Namun, realitasnya berbanding terbalik. Di beberapa kota, trotoar bahkan tidak ramah bagi penyandang disabilitas. “Saya harus ekstra hati-hati karena banyak trotoar yang rusak dan terhalang motor parkir,” kata Andika (24), pekerja di Jakarta.

Kota-kota yang Berhasil Merebut Trotoar

Namun, tak semua kota membiarkan trotoarnya dikuasai. Bandung dan Semarang jadi contoh sukses.

  • Di Bandung, Pemkot aktif menata ulang trotoar dengan konsep pedestrian-friendly. Penertiban PKL dilakukan secara persuasif dengan menyediakan lokasi baru.
  • Di Semarang, revitalisasi trotoar di Simpang Lima mengembalikan hak pejalan kaki tanpa mengorbankan pedagang kecil.

Baca juga: Mengapa Kita Harus Berjalan Kaki Lebih Sering?

Upaya ini membuktikan bahwa trotoar yang layak bukan sekadar impian. Jika ada komitmen kuat, semua pihak bisa mendapatkan ruangnya tanpa saling berebut.

Lantas, bagaimana dengan kota lain? Akankah trotoar kembali menjadi milik pejalan kaki?

(Bersambung di artikel siang: Saat Trotoar Beralih Fungsi…)

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *