
POLUSI udara kembali jadi sorotan di ibu kota. Organisasi non-profit Bicara Udara (Yayasan Udara Anak Bangsa) mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta segera merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang sudah hampir dua dekade tak berubah.
Menurut Bicara Udara, aturan lama itu sudah ketinggalan zaman untuk menghadapi tantangan polusi udara yang makin kompleks. “Ada sekitar 30 pasal yang perlu disesuaikan dengan undang-undang dan regulasi nasional agar upaya pengendalian polusi lebih efektif,” kata Co-Founder Bicara Udara, Novita Natalia, Selasa (30/9/2025).
Regulasi Usang, Risiko Nyata
Novita menilai, aturan soal baku mutu udara, perencanaan tata ruang, mekanisme pemantauan, hingga izin emisi sudah tidak relevan. Padahal, Jakarta masih berjuang keluar dari daftar kota dengan kualitas udara terburuk dunia.
Baca juga: Biaya Polusi Udara Jakarta: Rp52 Triliun per Tahun
Ia juga menekankan perlunya memperkuat kebijakan seperti kawasan tanpa rokok, electronic road pricing (ERP), low emission zone (LEZ), dan Hari Bebas Kendaraan Bermotor, agar tidak sekadar seremoni.
“Masyarakat berhak mendapat perlindungan dari dampak polusi udara, baik untuk kesehatan hari ini maupun generasi mendatang,” ujarnya.

Momentum Clean Air Month
Desakan ini muncul bertepatan dengan Clean Air Month, yang mencakup tiga momen global, yakni Hari Udara Bersih Internasional (7 September), Hari Nol Emisi (21 September), dan Hari Bebas Kendaraan Bermotor Sedunia (22 September).
Baca juga: Kanker Paru di Era Polusi, Non-Perokok pun Tak Lagi Aman
Novita menilai momen ini tepat untuk mendorong kebijakan publik yang berbasis data dan fakta. “Polusi udara tidak mengenal batas administrasi. Kerja sama lintas daerah, terutama di kawasan Jabodetabekpunjur, jadi kunci,” tegasnya.
DPRD DKI dan Pemerintah Pusat Siap Bergerak
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Wibi Andrino, mengaku pihaknya siap merevisi Perda agar lebih komprehensif. “Semua sektor harus terlibat. Mulai dari pencegahan, edukasi, penegakan sanksi, hingga investasi untuk transportasi ramah lingkungan,” ujarnya.
Baca juga: Indonesia Juara Polusi di Asia Tenggara, Apa Solusinya?
Dari pemerintah pusat, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, menegaskan pentingnya kolaborasi antarwilayah aglomerasi. Ia menyoroti perlunya kebijakan berbasis bukti, pemantauan yang jelas, dan transportasi publik yang memadai.
“Gerakan beralih ke transportasi umum harus dimulai dari pejabat publik. Jika masyarakat melihat pejabat ikut naik transportasi umum, partisipasi publik akan meningkat, dan pemerintah pun terpacu untuk memperbaiki layanannya,” kata Bima. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.