13 Juta Ponsel Dibuang Setiap Hari, Krisis Konsumsi di Era Digital

Foto: Ilustrasi/ Skyler Ewing/ Pexels.

SETIAP hari, jutaan ponsel berakhir di tempat sampah. CEO Framework, Nirav Patel, mengungkapkan angka mengejutkan dalam dokumenter Buy Now: The Shopping Conspiracy:

“Sekitar 13 juta ponsel dibuang setiap harinya di seluruh dunia.”

Angka ini menggambarkan bagaimana industri teknologi mendorong masyarakat global ke dalam siklus konsumsi yang brutal. Ponsel baru dirilis setiap tahun. Model lama cepat dianggap usang. Produsen merancang perangkat yang sulit diperbaiki, sehingga mendorong konsumen untuk terus membeli.

Dampak yang Menggunung

Tak hanya menciptakan limbah, ledakan ponsel bekas memicu krisis lingkungan serius. Sebagian besar ponsel mengandung logam tanah jarang, seperti emas, litium, kobalt, dan tantalum. Penambangan bahan-bahan ini merusak ekosistem, menguras sumber daya alam, dan sering kali melibatkan praktik eksploitasi buruh.

Menurut laporan Global E-Waste Monitor 2024 yang dirilis United Nations University, ITU, dan ISWA:

  • Total limbah elektronik global mencapai 62 juta metrik ton pada 2022.
  • Sekitar 5,3 miliar ponsel tidak lagi digunakan sepanjang 2022, entah disimpan, didaur ulang, atau dibuang.
  • Hanya 17,4% dari total limbah elektronik yang berhasil didaur ulang secara resmi.

Artinya, sebagian besar ponsel bekas berakhir di tempat pembuangan, dibakar, atau disimpan begitu saja di rumah-rumah tanpa pernah masuk ke sistem daur ulang formal.

Siklus Konsumsi yang Dirancang

Fenomena ini bukan terjadi secara alami. Patel menegaskan, industri secara sadar menciptakan sistem planned obsolescence—masa pakai produk yang pendek dan suku cadang yang sulit diakses.

Baca juga: Repair Cafe di Inggris: Tren Baru Gaya Hidup Berkelanjutan

“Sebenarnya perangkat bisa dibuat tahan lama. Tapi itu bukan bisnis yang menguntungkan,” bebernya.

Ledakan limbah ponsel menjadi simbol gelap budaya konsumsi, seperti tergambar dalam trailer Buy Now: The Shopping Conspiracy di Netflix.

Banyak perusahaan teknologi besar mengunci desain produknya. Baterai tidak bisa diganti, komponen sulit dibongkar, dan biaya servis resmi sangat mahal. Konsumen pun terdorong membeli perangkat baru ketimbang memperbaiki.

Solusi Masih Terbuka

Beberapa perusahaan mencoba keluar dari lingkaran ini. Framework—perusahaan yang dipimpin Nirav Patel—mengembangkan laptop modular yang mudah diperbaiki dan diperbarui. Model bisnis seperti ini menawarkan alternatif lebih berkelanjutan.

Di sisi lain, Uni Eropa kini mulai memberlakukan regulasi Right to Repair, mewajibkan produsen menyediakan suku cadang dan panduan perbaikan. Beberapa negara bagian di AS mengikuti jejak yang sama.

Baca juga: 115-180 Kg Makanan Terbuang per Orang per Tahun di Indonesia

Namun, upaya global masih jauh dari cukup. Menurut Global E-Waste Monitor, tanpa intervensi serius, jumlah limbah elektronik bisa mencapai 75 juta ton per tahun pada 2030.

Kesadaran Konsumen Dibutuhkan

Sebagian solusi juga bergantung pada perubahan perilaku konsumen. Membeli perangkat yang mudah diperbaiki, memperpanjang usia pakai, serta memilih produk dengan prinsip keberlanjutan menjadi langkah kecil yang berdampak besar.

Seperti dikatakan Patel di akhir dokumenter:

“Kita tidak bisa terus mendorong pertumbuhan tanpa batas di planet yang terbatas.”

Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *