200 Juta Pekerjaan Hijau Menanti Asia Meski Kesenjangan Membayangi

Kombinasi energi terbarukan seperti tenaga angin dan surya menjadi kunci transisi hijau di Asia dan membuka peluang penciptaan jutaan pekerjaan baru. Foto: Kindel Media/ Pexels.

ASIA disebut memiliki peluang besar menciptakan lebih dari 200 juta pekerjaan hijau pada 2030. Namun potensi itu belum tentu terwujud jika kawasan ini gagal mengatasi kesenjangan sosial dan ekonomi yang masih membelit jutaan penduduk.

Menurut The Rockefeller Foundation (TRF), Asia butuh investasi hampir US$3 triliun per tahun hingga 2030 untuk mempercepat pembangunan energi bersih, infrastruktur berkelanjutan, dan sistem pangan yang tangguh menghadapi krisis iklim.

“Menutup kesenjangan pembangunan bukan hanya kewajiban moral, tapi juga peluang strategis untuk memperkuat kepemimpinan ekonomi Asia di masa depan,” kata Executive Vice President of Programs TRF, Elizabeth Yee, dalam forum ASIAXCHANGE25 di Jakarta.

Jurang Pembangunan yang Mengkhawatirkan

Di tengah ambisi besar itu, lebih dari 150 juta orang di Asia masih hidup dalam kemiskinan ekstrem, dengan pendapatan di bawah US$2,15 per hari.

Baca juga: China Kuasai 50% Energi Terbarukan Global pada 2030

Selain itu, 350 juta orang mengalami kekurangan gizi, hampir separuh dari total global.
Dan hingga kini, sekitar 150 juta penduduk Asia-Pasifik belum punya akses listrik.

“Jika ketimpangan ini tidak segera diatasi, kita akan kehilangan peluang besar untuk memanfaatkan potensi energi hijau sebagai pendorong pertumbuhan,” ujar Yee.

Asia Jadi Pusat Energi Hijau

Yee menyebut Asia kini menjadi pusat perkembangan energi terbarukan dunia. Kawasan ini menampung setengah dari kapasitas energi bersih global, dan lima dari sepuluh negara dengan pembangkit tenaga surya terbesar juga berasal dari Asia.

Baca juga: ADB Kucurkan Rp 7,6 T untuk Percepat Transisi Energi Indonesia

Indonesia ikut masuk peta penting itu dengan target ambisius: 70% bauran energi terbarukan pada 2045.
Namun, jalan menuju target ini tidak mulus. Tantangan pembiayaan, ketergantungan pada batu bara, hingga keterbatasan teknologi penyimpanan energi masih menjadi batu sandungan.

Desain Grafis: Daffa Attarik/ MulaMula.
Blueprint Perubahan dari Indonesia

Untuk mempercepat transisi energi, TRF bersama Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) mendorong kolaborasi modal publik, swasta, dan filantropi.

Baca juga: Tak Perlu BBM, Sulawesi hingga Timor Bisa Hidup dari Energi Alam

Beberapa proyek percontohan yang sudah dimulai di Indonesia antara lain:

  • Pembangkit listrik tenaga surya terapung di Batam, yang memanfaatkan permukaan air untuk pembangkit energi hijau.
  • Proyek penyimpanan baterai di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, untuk mendukung keandalan pasokan listrik dari energi terbarukan.

“Ini bukan sekadar proyek uji coba. Kami sedang membangun model yang bisa direplikasi di berbagai wilayah Asia,” tegas Yee.

Pekerjaan Hijau dan Masa Depan Kawasan

TRF juga mengembangkan Inisiatif Kredit Energi Bersih yang ditargetkan menciptakan ratusan ribu pekerjaan hijau baru hingga 2030.
Inisiatif ini membuka peluang investasi di sektor energi terbarukan sekaligus memperluas akses pembiayaan bagi masyarakat dan usaha kecil.

Baca juga: Antara Ideal dan Biaya, Dilema Indonesia dalam Transisi Energi

“Keberhasilan Asia dalam mempercepat transisi energi akan menjadi kontribusi nyata bagi dunia dalam mengatasi krisis iklim,” kata Yee.

Peluang besar ini menempatkan Asia, termasuk Indonesia, di titik penting sejarah.
Keputusan untuk mempercepat transisi energi dan menutup jurang kesenjangan akan menentukan apakah kawasan ini mampu memimpin era ekonomi hijau, atau justru tertahan oleh masalah klasik pembangunan. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *