4 Pulau Jadi Sengketa Aceh-Sumut, Ini Akar Masalahnya

Pulau Panjang, destinasi wisata cantik di perairan Aceh Singkil yang kini resmi masuk dalam administrasi Sumatera Utara. Foto: Instagram/ @hardisabtia12.

Banda Aceh, mulamula.id Penetapan empat pulau di Aceh Singkil ke wilayah Sumatera Utara memicu diskusi panas di Aceh. Namun di balik putusan administratif itu, tersimpan perjalanan panjang persoalan batas wilayah yang rumit secara hukum, politik, hingga sejarah.

Berikut narasi komprehensif mengapa persoalan ini terjadi.

Akarnya: Batas Darat Disepakati, Laut Mandek

Batas darat antara Kabupaten Aceh Singkil (Aceh) dan Tapanuli Tengah (Sumut) sejatinya sudah disepakati kedua daerah. Dokumen perjanjian sudah ada. Masalah muncul pada batas laut.

Perairan di sekitar Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang menjadi area abu-abu karena tidak pernah ada kesepakatan resmi. Keduanya sama-sama mengklaim wilayah laut di perbatasan tersebut.

Setidaknya sejak satu dekade terakhir, pemerintah pusat berulang kali memfasilitasi pertemuan kedua pihak. Namun, semua forum mediasi itu berujung buntu.

Administrasi Global Jadi Pemicu Finalisasi

Ketika Indonesia wajib mendaftarkan nama-nama pulau ke PBB untuk pemetaan global, persoalan ini kembali muncul ke permukaan. Pemerintah pusat tidak bisa menunda lagi.

Merujuk pada batas darat yang sudah disepakati, dan berdasarkan hasil kajian teknis sejumlah lembaga pusat — termasuk Badan Informasi Geospasial (BIG), Pus Hidros TNI AL, hingga Topografi TNI AD — empat pulau tersebut ditarik ke wilayah Sumatera Utara.

Baca juga: 4 Pulau Sengketa Aceh-Sumut, Ini Alasan Pusat Memutuskan

“Pemerintah pusat mengambil keputusan sesuai kewenangan. Prosesnya sudah panjang melibatkan banyak pihak,” ujar Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

Otonomi Khusus Aceh, Dimensi Politik yang Membayangi

Isu ini menjadi sensitif karena menyentuh semangat otonomi khusus Aceh. Sejak perdamaian 2005, Aceh mendapat kewenangan yang lebih luas dibanding provinsi lain.

Pulau Panjang, salah satu dari empat pulau di Aceh yang kini secara administratif masuk ke wilayah Sumatera Utara. Foto: Instagram/ @isra.ambia.

Sebagian kalangan di Aceh menilai keputusan pusat kali ini menunjukkan lemahnya posisi Aceh dalam pengambilan keputusan strategis, meski punya status kekhususan. Bagi banyak tokoh lokal, empat pulau ini bukan sekadar aset, melainkan simbol eksistensi daerah.

Celah Hukum Masih Terbuka

Meski telah diputuskan, ruang hukum tetap terbuka. Pemerintah pusat membuka opsi pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Jalur hukum ini memungkinkan semua pihak menguji legalitas keputusan secara terbuka dan objektif.

“Kalau ada yang keberatan, silakan ajukan ke PTUN. Kami sangat terbuka,” kata Tito.

Sengketa Perbatasan, Bukan Kasus Pertama

Perlu dicatat, sengketa batas wilayah antardaerah bukan hal baru di Indonesia. Puluhan kasus serupa masih berlangsung hingga hari ini. Banyak daerah berbatasan, terutama di wilayah perairan, yang belum memiliki kejelasan batas.

Penyebabnya beragam: tumpang tindih peta administrasi, minimnya data geospasial masa lalu, hingga faktor politis yang sulit didamaikan.

Pelajaran bagi Relasi Pusat-Daerah

Kasus Aceh-Sumut ini memperlihatkan pentingnya transparansi, musyawarah, dan ketegasan hukum dalam penentuan batas wilayah. Di saat yang sama, penguatan dialog pusat-daerah mutlak diperlukan, terutama untuk daerah-daerah dengan status khusus seperti Aceh, Papua, dan DIY.

Sengketa empat pulau ini mungkin telah diputus secara administratif. Namun, percakapan publik dan diskursus akademik yang muncul darinya menunjukkan bahwa pengelolaan otonomi asimetris di Indonesia masih terus diuji. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *