59 Persen Pasien Kanker di Indonesia Berakhir Meninggal, Kenapa Bisa?

Dokter memegang pita merah sebagai simbol perjuangan melawan kanker. Di tengah tingginya angka kematian akibat kanker di Indonesia, riset pemanfaatan radionuklida medis menawarkan harapan baru untuk diagnosis dan terapi. Foto: Ilustrasi/ Freepik.

KANKER masih jadi penyakit yang menakutkan. Data terbaru Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menunjukkan, dari 408 ribu kasus kanker di Indonesia pada 2022, lebih dari 242 ribu pasien meninggal dunia. Angkanya mencapai 59,24%, jauh lebih tinggi dibanding banyak negara lain.

Fakta ini bikin kanker bukan sekadar isu kesehatan, tapi juga masalah sosial dan ekonomi. Bayangkan, setiap keluarga pasien bukan hanya harus menghadapi proses pengobatan panjang, tapi juga biaya besar yang sering bikin keuangan rumah tangga ambruk.

Kenapa Angka Kematian Begitu Tinggi?

Salah satu jawabannya ada pada deteksi dini. Banyak pasien baru sadar kena kanker saat penyakitnya sudah masuk stadium lanjut. Akibatnya, pilihan terapi jadi terbatas, peluang sembuh menipis. Kesadaran masyarakat soal pemeriksaan rutin juga masih rendah.

Baca juga: Kanker Paru di Era Polusi, Non-Perokok pun Tak Lagi Aman

Selain itu, akses terhadap pengobatan modern juga belum merata. Teknologi canggih ada di kota besar, sementara banyak daerah belum terjangkau. Di sinilah muncul tantangan besar. Bagaimana Indonesia bisa memberi layanan kesehatan berkualitas tanpa membuat pasien makin terbebani.

“Fasilitas seperti siklotron tidak boleh hanya terkonsentrasi di Jawa. Harus tersebar di seluruh Indonesia, karena radionuklida medis memiliki waktu paruh yang pendek,” tegas Profesor Riset dari BRIN, Imam Kambali, dalam orasi ilmiahnya di Gedung B.J. Habibie, Jakarta (20/8), sebagaimana dikutip dari laman resmi BRIN.

Teknologi Nuklir, Harapan Baru

Di tengah situasi ini, ada kabar baik dari dunia riset. Para ilmuwan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sedang mengembangkan radionuklida medis. Namanya memang terdengar rumit, tapi sederhananya, ini adalah isotop radioaktif yang bisa dipakai untuk mendeteksi kanker lebih cepat dan sekaligus membantu terapi.

Caranya, radionuklida bisa dipakai dalam alat seperti PET scan atau SPECT. Dengan teknologi ini, sel kanker bisa terlihat jelas sejak awal. Ada juga jenis radionuklida yang bisa membunuh sel kanker secara langsung, tanpa merusak jaringan sehat di sekitarnya. Bahkan, ada isotop yang bisa dipakai untuk dua fungsi sekaligus, diagnosis dan terapi.

Foto: Ilustrasi/ Freepik.

Teknologi ini bukan hanya untuk kanker. Komplikasi pasca Covid-19 pun bisa dideteksi dengan radioisotop F-18. Jadi, potensinya sangat luas untuk berbagai penyakit di masa depan.

Baca juga: Alat Pacu Jantung Sekecil Beras Ini Bisa Larut dalam Tubuh

“Radionuklida medis terbukti efektif dalam diagnosis dan terapi kanker, bahkan berpotensi menjadi metode primer di masa depan,” jelas Profesor Riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Imam Kambali, mengutip laman resmi BRIN.

90% rRdioisotop Medis di Indonesia Masih Impor

Masalahnya, lebih dari 90% radioisotop medis di Indonesia masih impor. Padahal, teknologi ini punya umur pakai sangat pendek. Artinya, kalau produksinya jauh, radionuklida bisa kehilangan efektivitas sebelum sampai ke pasien.

Di dunia, sudah ada lebih dari 1.200 siklotron (mesin khusus pembuat isotop) yang memproduksi bahan ini. Indonesia perlu menambah fasilitas semacam itu, dan tidak hanya di Jawa. Sebab, pasien kanker ada di seluruh Nusantara.

Kalau Indonesia bisa mandiri memproduksi radionuklida, bukan hanya layanan kesehatan yang membaik, tapi juga biaya pengobatan bisa lebih terjangkau. Selain itu, kita bisa mengurangi ketergantungan impor, dan ini penting untuk kedaulatan kesehatan nasional.

Bukan Penyakit Orang Tua

Mungkin kamu berpikir, “Kanker itu penyakit orang tua, bukan urusan kita.” Faktanya, kanker bisa menyerang siapa saja, termasuk anak muda. Gaya hidup, lingkungan, sampai faktor genetik bisa jadi pemicu.

Baca juga: Jejak Karbon Tersembunyi dari Industri Farmasi

Itulah kenapa penting banget buat generasi muda untuk peduli. Bukan cuma soal menjaga kesehatan pribadi lewat gaya hidup sehat, tapi juga mendukung riset-riset yang bisa jadi penyelamat di masa depan.

Investasi di bidang radionuklida medis bukan hanya soal teknologi. Ini adalah tentang masa depan generasi kita agar kita punya layanan kesehatan yang adil, canggih, dan siap melindungi semua orang, termasuk anak muda. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *