62 Pesut dan Sebuah Ironi di Sungai Mahakam

Pesut Irrawaddy di Sungai Mekong, Kamboja. Spesies sejenis hidup di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, kini hanya tersisa sekitar 62 ekor di alam liar. Foto: Stefan Brending, Lizenz/Wikipedia.

DI BALIK tenangnya Sungai Mahakam, ada cerita yang membuat dada sesak. Populasi pesut Mahakam, mamalia air tawar endemik Kalimantan Timur, kini tinggal 62 ekor. Satwa yang dikenal ramah dan cerdas itu perlahan menghilang, dan yang ironis, penyelamatnya bukan bangsa sendiri.

Dalam forum Plastic, Climate and Biodiversity Nexus yang digelar WWF Indonesia di Jakarta (28/10/2025), Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengaku baru menerima kabar kelahiran dua bayi pesut.

Kabar bahagia itu seharusnya jadi tanda harapan, tapi justru memunculkan tanya. “Pelopor penyelamatan pesut Mahakam justru orang Belanda, bukan kita,” katanya.

Pahlawan dari Negeri Lain

Pernyataan Hanif itu seperti tamparan halus. Indonesia dikenal sebagai negara dengan biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brasil, tapi banyak program penyelamatan justru digerakkan oleh pihak asing.

Baca juga: Darurat Ekologi, Satwa Liar Terjepit di Tengah Sawit dan Tambang

Ia bercerita, saat mengajak bupati dan gubernur berkunjung ke desa habitat pesut, ternyata mereka belum pernah datang ke sana.

Ironi ini bukan sekadar soal hewan langka, tapi tentang kesadaran ekologi yang masih lemah. Baik di kalangan pejabat maupun masyarakat. Alam dijaga hanya ketika jadi isu, bukan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ MulaMula.
Ketika Satwa Liar Mencari Rumah

Masalah serupa terjadi di tempat lain. Seekor harimau sumatera dan dua anaknya sempat muncul di kompleks kantor BRIN di Sumatera. Satwa yang biasanya bersembunyi di hutan itu kini berkeliaran di area manusia. “Artinya kita belum mampu memitigasi konflik keanekaragaman hayati,” ujar Hanif.

Baca juga: Pulau Lindung di Teluk Balikpapan, Harapan Baru untuk Orangutan

Sementara itu, badak Kalimantan kini tersisa dua ekor. Mereka hidup di antara kawasan yang terus menyempit, bersaing ruang dengan industri ekstraktif dan perkebunan yang tak terbendung.

Riau, Lautan Sawit dan Hutan yang Menghilang

Di Provinsi Riau, dari 8 juta hektare lahan, sekitar 4,5 juta hektare kini dikuasai perkebunan sawit. “Saya sudah terbang di atas Tesso Nilo hingga Rokan Hilir. Hampir tak ada hutan lagi,” kata Hanif.

Padahal, kawasan seperti itu seharusnya dilindungi sebagai High Conservation Value (HCV), rumah bagi gajah, harimau, dan orangutan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Hutan tinggal nama, dan satwa kehilangan arah pulang.

Lupa Menjadi Bangsa yang Menjaga

Pemerintah kini mendorong kolaborasi dengan organisasi seperti WWF Indonesia untuk mempercepat implementasi Indonesia Biodiversity Strategic Action Plan (IBSAP). Tapi langkah penyelamatan hanya akan berarti jika ada kemauan bersama, bukan sekadar proyek atau seremoni.

Baca juga: Selamatkan Gajah Sumatra, Aceh Jadi Fokus Konservasi

Karena jika 62 pesut di Mahakam pun harus diselamatkan orang asing, mungkin yang sedang punah bukan cuma satwanya, tapi juga rasa kepemilikan kita terhadap alam sendiri. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *