Penyegelan Tambang Raja Ampat, Penyelamatan atau Solusi Sementara?

Di balik panorama Raja Ampat, ada ekosistem rapuh yang kian tertekan akibat aktivitas tambang yang mengabaikan prinsip keberlanjutan. Foto: Bart ter Haar/ Pexels.

HAMPARAN laut biru dan gugusan karang di Raja Ampat telah lama memikat dunia. Namun, di balik keindahan itu, luka besar tengah menganga. Empat perusahaan tambang nikel resmi disegel Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) karena diduga mencemari lingkungan secara serius.

Langkah tegas ini diambil setelah investigasi lapangan menemukan indikasi pelanggaran hukum lingkungan di Pulau Gag, Kawe, Manuran, hingga Manyaifun.

Pulau Kecil, Beban Besar

Perusahaan-perusahaan tambang tersebut—PT Gag Nikel, PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)—beroperasi di pulau-pulau kecil yang sangat rentan. Padahal, berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah seperti ini semestinya dilindungi, bukan dieksploitasi.

Baca juga: Antara Keuntungan Nikel dan Keberlanjutan Raja Ampat, Pilih Mana?

Di Pulau Manuran, aktivitas tambang PT ASP bahkan disebut Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, sebagai bentuk pengabaian kehati-hatian. Sebuah settling pond jebol, mencemari kawasan suaka alam. Penambangan pun terjadi di luar zona izin penggunaan kawasan hutan (PPKH) seluas 5 hektare.

Investigasi Masih Berjalan

KLH saat ini mengambil sampel tanah dan air untuk memastikan tingkat kerusakan ekologis. Selain itu, keterangan ahli tengah dikumpulkan untuk menentukan arah penegakan hukum—baik administratif, perdata, atau pidana.

Hanif menyatakan, proses ini akan memakan waktu dua bulan. Namun ia sudah meminta Bupati Raja Ampat mengevaluasi izin lingkungan PT ASP yang masih berada di bawah kewenangan daerah. KLHK juga mengisyaratkan pencabutan izin lingkungan terhadap PT ASP, PT KSM, dan MRP yang beroperasi tanpa dokumen sah.

Lebih dari Sekadar Pelanggaran Administratif

PT GN di Pulau Gag berada dalam kawasan hutan lindung, meski memiliki kontrak karya yang disahkan UU No. 19 Tahun 2004. Namun, KLHK tetap akan meninjau ulang persetujuan lingkungannya. Perusahaan diminta bertanggung jawab dan melakukan pemulihan ekologis.

Lebih dari keindahan, Raja Ampat menyimpan kehidupan. Praktik tambang yang abai justru menggerus warisan hayati dunia. Foto: Stijn Dijkstra/ Pexels.

Sementara itu, PT MRP mengejutkan banyak pihak karena menjalankan eksplorasi di 10 titik tanpa satu pun dokumen PPKH. Pelanggaran ini membuka peluang penegakan hukum pidana.

Greenpeace, Tambang Merusak Lebih dari 500 Hektare

Aksi protes di ajang Indonesia Critical Minerals Conference 2025 menjadi pemicu perhatian publik. Empat aktivis Greenpeace bersama warga Raja Ampat menyuarakan keprihatinan atas ekspansi tambang nikel yang mereka nilai telah merusak lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami.

Baca juga: Tambang atau Pariwisata? Masa Depan Raja Ampat Dipertaruhkan

Dokumentasi yang mereka rilis menunjukkan limpasan tanah yang menyebabkan sedimentasi di pesisir. Ini berpotensi besar merusak terumbu karang dan mengganggu kehidupan laut.

Menuju Tata Kelola yang Berkeadilan

Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata. Raja Ampat adalah rumah bagi keanekaragaman hayati laut yang mendunia. Praktik tambang yang abai terhadap prinsip keberlanjutan jelas mengkhianati semangat pembangunan berwawasan lingkungan.

Penyegelan tambang hanyalah langkah awal. Pemulihan, penegakan hukum yang adil, serta transparansi pengelolaan sumber daya alam adalah kunci agar Raja Ampat tetap lestari—untuk warga lokal, untuk Indonesia, dan untuk dunia.***

Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *