
Oleh: Hamdani S Rukiah, SH, MH *
KEPUTUSAN pemerintah pusat menetapkan empat pulau sengketa di perairan Aceh Singkil ke wilayah Sumatera Utara memantik kontroversi baru. Meski secara administratif persoalan dianggap selesai, diskursus politik, hukum, dan otonomi khusus justru menghangat. Ini bukan sekadar soal batas wilayah, melainkan juga ujian bagi konsep otonomi asimetris yang dianut Indonesia.
Keempat pulau — Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang — resmi masuk Sumatera Utara melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Keputusan ini keluar setelah proses panjang mediasi antara Aceh dan Sumut menemui jalan buntu.
Namun di Aceh, keputusan itu menimbulkan pertanyaan mendasar: di mana posisi kekhususan Aceh saat keputusan strategis menyangkut wilayahnya diambil sepihak oleh pusat?
Sengketa Batas, Lebih dari Sekadar Administrasi
Publik harus memahami, sengketa batas wilayah antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah bukan hal yang tiba-tiba muncul. Persoalan ini sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Batas darat antar kedua daerah sebenarnya telah disepakati. Masalah muncul di batas laut, area yang kerap menjadi ruang abu-abu dalam delimitasi wilayah administratif Indonesia.
Baca juga: 4 Pulau Sengketa Aceh-Sumut, Ini Alasan Pusat Memutuskan
Berbagai upaya mediasi sudah dilakukan, melibatkan delapan lembaga pusat seperti Badan Informasi Geospasial (BIG), Pusat Hidro-Oseanografi TNI AL, hingga Topografi TNI AD. Namun perundingan tetap gagal menemukan titik temu.
Situasi menjadi kian mendesak ketika Indonesia harus mendaftarkan nama-nama pulau ke PBB. Kebutuhan administratif global inilah yang mendorong pemerintah pusat mengambil keputusan final, merujuk pada batas darat yang telah disepakati.

Otonomi Khusus Aceh Diuji
Di sinilah letak problemnya. Aceh bukan provinsi biasa. Sejak penandatanganan perjanjian damai Helsinki 2005, Aceh memperoleh status otonomi khusus melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Dalam banyak aspek, Aceh diberi keleluasaan mengatur pemerintahan, hukum, hingga pengelolaan sumber daya alamnya.
Baca juga: Alkisah 4 Pulau Aceh yang ‘Hijrah’ ke Sumatera Utara
Namun faktanya, status otonomi ini tetap berada di bawah kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sengketa antarprovinsi, termasuk penentuan batas wilayah, tetap menjadi ranah pusat. Di atas kertas, keputusan pemerintah pusat legal. Tetapi secara politik, banyak kalangan Aceh merasa suara mereka diabaikan.
Tidak sedikit tokoh Aceh yang menilai keputusan ini berpotensi mereduksi kepercayaan masyarakat terhadap pusat. Empat pulau tersebut, meski kecil secara ukuran, mengandung makna simbolik: identitas, harga diri, dan kontrol atas sumber daya kelautan.
Pusat-Daerah, Saatnya Menata Ulang Dialog
Kasus empat pulau ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah pusat dan daerah untuk meninjau ulang mekanisme dialog dalam implementasi otonomi asimetris. Kewenangan pusat memang sah secara hukum, tetapi keterlibatan penuh daerah berkekhususan seharusnya menjadi prinsip utama dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan wilayahnya.
Baca juga: 4 Pulau Jadi Sengketa Aceh-Sumut, Ini Akar Masalahnya
Aceh — seperti juga Papua dan DIY — memerlukan ruang partisipasi yang lebih kuat, bukan sekadar formalitas administratif. Dialog yang sehat dan transparan akan jauh lebih konstruktif dibanding keputusan sepihak yang dapat menyisakan kekecewaan.
Jalur Hukum Sebagai Ruang Koreksi
Pemerintah pusat telah membuka pintu upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ini langkah yang patut diapresiasi sebagai bagian dari mekanisme koreksi kebijakan negara. Namun, sebaik apapun proses hukum berjalan, dampak psikologis dan politik tetap akan berbekas di Aceh.

Karena itu, ke depan, kunci utamanya bukan semata pada produk keputusan administratif. Tetapi, pada kualitas relasi pusat-daerah yang mampu menjaga keseimbangan antara kewenangan nasional dan penghormatan terhadap kekhususan daerah.
Mengelola Otonomi, Menguatkan NKRI
Kasus empat pulau di Aceh Singkil bukanlah konflik terakhir dalam persoalan batas wilayah di Indonesia. Ke depan, problem serupa bisa saja muncul di daerah lain. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu terus mengembangkan mekanisme penyelesaian yang tidak sekadar legal formal, tetapi juga sensitif terhadap dinamika sosial-politik di daerah.
Otonomi khusus adalah bagian dari kekayaan tata kelola Indonesia sebagai negara multikultural. Otonomi bukan ancaman bagi NKRI, justru sebaliknya: ia memperkuat persatuan dengan cara mengakui keberagaman. Namun, pengelolaannya menuntut kebijaksanaan dan kematangan semua pihak. ***
- Pemimpin Redaksi mulamula.id
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.