Kabul di Ambang Kekeringan, Krisis Air Bayangi 7 Juta Jiwa

Bentang Kota Kabul dari kejauhan dengan latar Pegunungan Hindu Kush, tampak padat dan terus berkembang, namun menyimpan ancaman tersembunyi berupa krisis air bersih yang semakin mendesak. Foto: Qasim Mirzaie/ Pexels,

KABUL, ibu kota Afghanistan, kini berdiri di ambang krisis eksistensial. Kota berpenduduk tujuh juta jiwa itu diprediksi akan menjadi ibu kota modern pertama di dunia yang kehabisan air minum. Sebuah laporan dari Mercy Corps mengungkapkan bahwa cadangan air tanah (akuifer) Kabul tinggal 30 persen—dan terus menipis karena kombinasi antara ledakan urbanisasi, perubahan iklim, dan tata kelola yang lemah.

Ancaman ini bukan sekadar persoalan lingkungan. Ini soal kehidupan. Ini soal keadilan.

Air yang Hilang, Harapan yang Terkikis

Di kota yang pernah dibangun dengan harapan akan stabilitas, lebih dari separuh sumur bor kini telah mengering. Padahal sumur adalah satu-satunya akses utama penduduk terhadap air bersih. Ironisnya, laju ekstraksi air dari akuifer jauh melebihi daya pulihnya, mencapai 44 juta meter kubik per tahun. Jika tren ini terus berlanjut, Kabul bisa benar-benar kering pada 2030.

Baca juga: Daratan Kekeringan, Laut Naik: Sinyal Krisis Air di Era Perubahan Iklim

“Tidak ada air berarti tidak ada kehidupan,” kata Country Director Mercy Corps Afghanistan, Dayne Curry, mengutip The Guardian. Ia menyebut ancaman ini dapat mendorong gelombang migrasi besar-besaran, bukan hanya di dalam negeri, tapi juga lintas batas. Sebuah bom waktu kemanusiaan sedang berdetak.

Ketimpangan dan Eksploitasi

Seperti banyak krisis lingkungan lainnya, mereka yang paling rentan adalah yang paling terdampak. Warga miskin di Kabul kini harus menghabiskan hingga 30 persen pendapatan mereka hanya untuk membeli air. Dua pertiga dari mereka bahkan harus berutang demi air bersih.

Sementara itu, perusahaan-perusahaan swasta justru memanfaatkan situasi ini. Mereka menggali sumur dalam jumlah besar, menyedot air tanah, dan menjualnya kembali dengan harga tinggi. “Dulu kami bayar 500 afghani untuk isi air 10 hari. Sekarang harganya sudah dua kali lipat,” keluh Nazifa, seorang guru di kawasan Khair Khana.

Baca juga: Kenaikan Air Laut Bisa Capai 1,9 Meter, Apa Dampaknya?

Air berubah menjadi komoditas. Dari sumber kehidupan menjadi sumber keuntungan.

Panorama Kota Kabul di bawah langit mendung, menggambarkan kontras antara padatnya permukiman dan minimnya infrastruktur air bersih di tengah ancaman krisis kekeringan yang kian nyata. Foto: Suliman Sallehi/ Pexels
Polusi, Politik, dan Solusi Tertunda

Tak hanya kelangkaan, kualitas air pun menjadi masalah besar. Sekitar 80 persen air tanah Kabul tercemar limbah, garam, dan arsenik. Artinya, bukan cuma kekurangan air, warga Kabul juga menghadapi risiko kesehatan jangka panjang.

Sayangnya, krisis ini terjadi di tengah ketidakpastian politik. Sejak Taliban kembali berkuasa, pendanaan internasional untuk sektor air dan sanitasi senilai 3 miliar dolar AS dibekukan. Amerika Serikat bahkan memangkas lebih dari 80 persen pendanaan USAID ke Afghanistan. Padahal, bantuan jangka pendek tak cukup untuk menyelesaikan krisis struktural.

Baca juga: Air Laut Nggak Pernah Habis, Kok Bisa?

Sementara itu, Pemerintah Taliban mencoba menawarkan solusi lewat proyek Pipa Sungai Panjshir. Jika terealisasi, pipa ini akan menyuplai air bagi 2 juta warga Kabul, mengurangi tekanan terhadap akuifer. Namun proyek ini masih terhenti di tahap desain, menunggu suntikan dana senilai 170 juta dolar AS.

“Waktu tidak berpihak pada kita,” kata Najibullah Sadid, peneliti senior sumber daya air. “Jika kita terus menunda, kita akan tersapu oleh krisis yang tak bisa dibalikkan.”

Pelajaran untuk Dunia

Kabul mungkin yang pertama, tapi bukan yang terakhir. Apa yang terjadi di sana adalah peringatan global tentang bagaimana krisis iklim, tata kelola buruk, dan ketimpangan sosial bisa berpadu menjadi bencana air.

Baca juga: Krisis Air Tanah, Jakarta Berencana Hentikan Izin Baru

Bagi praktisi dan pemerhati keberlanjutan di Indonesia, cerita Kabul adalah cermin. Kita perlu memperkuat pengelolaan air berbasis ekosistem, meningkatkan ketahanan komunitas lokal, dan memastikan bahwa akses air bersih tetap menjadi hak, bukan barang mewah. ***

Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *