Nilam Aceh Laris di Dunia, tapi Petaninya Kapan Naik Kelas?

Seorang petani nilam di Aceh mengeringkan daun nilam dengan metode pengeringan udara. Teknik ini menghindari paparan langsung sinar matahari guna mempertahankan kualitas minyak atsiri yang dihasilkan. Foto Instagram/ @panennilam.

DUNIA kenal aroma nilam dari Aceh. Parfum-parfum mewah kelas dunia bahkan pakai minyak esensial yang disuling dari tanaman ini. Tapi lucunya, atau sedihnya, petani nilam di Aceh sendiri belum ikut harum nasibnya.

Fakta ini jadi titik berangkat seorang peneliti muda, Sofia Keumalasari, yang baru saja meraih gelar Doktor Ilmu Pertanian dari Sekolah Pascasarjana Universitas Syiah Kuala (USK). Lewat disertasinya, Sofia mengangkat satu pertanyaan penting, kenapa komoditas seterkenal nilam belum bisa bikin rakyat Aceh sejahtera?

Jawaban yang ia temukan, rantai pasok nilam di Aceh banyak bolongnya. Dan bolongnya bukan cuma satu-dua, tapi sistemik.

Apa yang Salah dari Rantai Pasok Nilam?

Sofia melakukan riset di tiga kabupaten utama penghasil nilam, Aceh Jaya, Aceh Selatan, dan Gayo Lues. Ia melibatkan 172 responden dari petani, koperasi, agen pengumpul, pelaku usaha, sampai pejabat daerah. Dari sini terungkap sejumlah masalah lama yang belum juga dibereskan.

Proses penyulingan minyak nilam di Aceh masih didominasi penggunaan kayu bakar. Praktik ini tak hanya mengancam keberlanjutan lingkungan, tapi juga mencerminkan tantangan dalam mendorong produksi atsiri yang ramah iklim. Foto: Instagram/ @bejirihkudai.

Pertama, penyulingan nilam masih pakai kayu bakar, yang boros energi dan tidak ramah lingkungan. Kedua, jumlah agen penampung terbatas, bikin petani kesulitan menjual hasil panennya secara adil. Ketiga, minim inovasi produk turunan, jadi nilai tambah tetap dinikmati pihak luar. Dan terakhir, praktik budidaya dan pemupukan belum optimal. Dampaknya, hasil panen nggak konsisten, harga gampang jatuh.

Baca juga: Kalau Petani Gagal Panen karena Krisis Iklim, Kita Makan Apa?

Bukan Sekadar Pelatihan, tapi Sistem Baru

Yang menarik dari disertasi Sofia bukan cuma pemetaan masalah, tapi tawaran solusinya. Ia merancang model rantai pasok keberlanjutan berbasis manajemen risiko dan sistem dinamis. Bukan teori kosong, tapi pendekatan yang bisa langsung dipakai daerah.

Sofia menggunakan metode House of Risk (HOR) untuk menganalisis risiko, dan Multidimensional Scaling (MDS) untuk mengukur keberlanjutan sistem. Hasilnya, ia mengusulkan agar koperasi dan perusahaan daerah jadi aktor kunci. Mulai dari mengonsolidasi panen, menyuling secara efisien, membuka akses pasar, hingga bikin produk hilir berbasis minyak nilam.

Daun nilam hasil panen diangkut menggunakan sepeda motor menuju lokasi penyulingan di Aceh. Proses penyulingan tersebar di sejumlah kabupaten, seperti Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Aceh Besar, Aceh Selatan, dan Aceh Tengah. Rantai produksi penting dalam industri minyak nilam yang kini didorong lebih berkelanjutan. Foto: Instagram/ @panennilam –
Petani Nggak Butuh Kasihan, tapi Regulasi dan Akses

Dalam model Sofia, pemerintah daerah punya peran penting. Bukan sebagai penonton, tapi fasilitator. Disertasi ini merekomendasikan intervensi seperti:

  • Pelatihan budidaya dan perawatan tanaman.
  • Produksi pupuk organik lokal.
  • Inovasi produk turunan nilam.
  • Pembukaan akses modal dan regulasi agribisnis yang ramah rakyat.

Baca juga: Revolusi Pertanian, AI dan Robot Mengubah Cara Kita Bertani

Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, promotor Sofia, bilang bahwa disertasi ini bisa jadi model untuk membangun agribisnis rakyat berbasis komunitas yang berkelanjutan. “Solusinya praktis, aplikatif, dan bisa diperluas,” katanya.

Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, menghadiri pelepasan ekspor minyak nilam ke Prancis yang digagas Atsiri Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala. Ekspor ini merupakan hasil kolaborasi PT U Green Aromatic International dan Garuda Indonesia, Minggu, 13 April 2025. Foto: Dok. Diskominfo Banda Aceh.
Dari Disertasi ke Kebijakan Nyata?

Karya Sofia mungkin lahir di ruang akademik, tapi dampaknya bisa terasa sampai ke ladang. Ia berhasil mengubah riset menjadi alat advokasi yang kuat untuk petani, untuk koperasi, dan untuk siapa pun yang peduli keberlanjutan.

Baca juga: Secangkir Kopi, Sepetak Ketimpangan

Jadi, kalau selama ini kita cuma bangga karena nilam Aceh harum di luar negeri, sekarang waktunya bertanya, kapan petaninya ikut naik kelas?

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *