
TRANSISI energi global tengah berada di persimpangan jalan. Di saat berbagai sektor berlomba menuju emisi nol bersih, langkah Barclays keluar dari Net Zero Banking Alliance (NZBA) mengirimkan sinyal mengejutkan.
Barclays bukan bank pertama yang meninggalkan aliansi yang dibentuk di bawah naungan UNEP FI (United Nations Environment Programme Finance Initiative). Sebelumnya, raksasa keuangan seperti HSBC, Citigroup, Morgan Stanley, dan JP Morgan sudah lebih dulu menarik diri. Alasan mereka serupa, ketidaksesuaian antara aturan aliansi dan realita strategi bisnis masing-masing.
Dalam pernyataannya di situs perusahaan, Barclays menekankan bahwa keputusan ini bukan pelepasan dari komitmen net zero. Mereka tetap mengincar target emisi nol bersih pada 2050 dan mengklaim telah mencetak pendapatan 500 juta pound dari pembiayaan proyek transisi rendah karbon tahun ini.
Namun, keputusan itu tetap menyisakan ironi. Aliansi yang semula bertujuan menyatukan kekuatan perbankan global untuk mendorong pendanaan berkelanjutan justru mulai ditinggalkan oleh pemain utamanya. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?
Keberlanjutan vs Realitas Pasar
Banyak pihak melihat ini sebagai gejala dari ketegangan antara ambisi iklim dan realitas dunia perbankan. Di satu sisi, bank-bank besar perlu menjaga kepercayaan pemegang saham dan keberlanjutan portofolio bisnis mereka. Di sisi lain, tekanan publik dan peraturan yang makin ketat mendorong komitmen hijau yang lebih konkret dan transparan.
Baca juga: Bank Besar Mundur dari Aliansi Net-Zero, Apa Sebabnya?
NZBA sendiri sempat melakukan revisi aturan awal tahun ini. Namun bagi Barclays, perubahan tersebut belum cukup. Mereka menyebut keluarnya para anggota besar sebagai alasan utama. Aliansi dipandang tidak lagi mencerminkan kekuatan kolektif yang mereka butuhkan untuk mendukung transisi internal.

Langkah ini mengundang kritik. Jeanne Martin dari ShareAction menyebutnya sebagai “langkah mundur” di tengah eskalasi krisis iklim global. Ia menilai mundurnya Barclays menunjukkan lemahnya komitmen industri keuangan dalam mengambil peran nyata mengatasi perubahan iklim.
Baca juga: Bank Mandiri Kuasai ESG di Indonesia, Sejajar Standar Global
Dampaknya bagi Indonesia?
Meski ini terjadi di Eropa dan Amerika, dampaknya tak bisa diabaikan oleh pelaku industri keuangan dan pengambil kebijakan di Indonesia. Banyak bank nasional dan regional tengah membangun kerangka ESG (environmental, social, governance), termasuk melalui kemitraan internasional dan kerangka global seperti Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD).
Namun, kisah Barclays bisa jadi pelajaran penting bahwa komitmen hijau butuh lebih dari sekadar deklarasi. Diperlukan kerangka kerja yang fleksibel namun kuat, serta sinergi antara prinsip keberlanjutan dan strategi bisnis jangka panjang.
Baca juga: Bank Dunia Longgarkan Larangan Nuklir
Bank-bank di Indonesia kini dihadapkan pada pertanyaan strategis yang sama. Apakah mereka akan memilih jalan sulit namun berkelanjutan, atau mundur perlahan demi stabilitas jangka pendek?
Dalam dunia yang semakin terdampak perubahan iklim, waktu untuk bersikap ragu sudah lewat. Kredibilitas institusi keuangan akan ditentukan bukan hanya oleh laba, tapi juga oleh sejauh mana mereka ikut menjaga planet ini tetap layak huni. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.