Sampah Kita Segunung, Solusinya Segunung Duit

Alat berat dan pemulung tampak sibuk di lautan sampah TPA terbuka. Pemerintah menargetkan penutupan 343 TPA serupa, sebagai bagian dari transformasi sistem pengelolaan sampah nasional senilai Rp 300 triliun. Foto: Ilustrasi/ Tom Fisk/ Pexels.

SETIAP hari, kita menghasilkan sampah. Di rumah, di kampus, di warung makan, di mana saja. Lalu ke mana semuanya pergi? Sayangnya, sebagian besar hanya berakhir di tempat pembuangan terbuka. Padahal, untuk membalik keadaan dan membangun sistem pengelolaan sampah yang layak, Indonesia butuh dana tak main-main, hampir Rp300 triliun.

Angka ini datang dari simulasi yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup. Biaya itu mencakup pembangunan berbagai fasilitas, mulai dari TPS 3R skala komunitas, Refuse Derived Fuel (RDF), biodigester, hingga Waste to Energy (WTE) yang bernilai triliunan rupiah per unit.

“Bukan hanya infrastruktur, tapi juga kelembagaan dan edukasi,” kata Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, awal pekan ini, di Jakarta.

Baca juga: Mikroplastik di Tubuhmu, Diplomasi di Pundak Negara

Namun, uang bukan satu-satunya kunci. Perlu juga perubahan cara pandang. Sampah bukan sekadar limbah, tapi potensi ekonomi yang bisa diolah. Hanif menegaskan, tata kelola pengelolaan sampah tak boleh hanya membebani APBD. Tapi, harus jadi sistem swadaya yang mengubah sampah menjadi sumber daya.

Akhiri Era Buang Sampah Sembarangan

Di balik angka triliunan itu, ada kenyataan tak kalah mencemaskan. Masih ada 343 TPA open dumping di Indonesia. Artinya, sampah-sampah itu dibuang begitu saja tanpa pengolahan, mencemari tanah, air, dan udara.

Baca juga: Indonesia Darurat Sampah, TPA Hampir Kolaps

KLH kini mewajibkan pemerintah daerah menyusun peta jalan penutupan TPA terbuka. Sistemnya harus bergeser ke sanitary landfill atau setidaknya controlled landfill. Jika tidak, sanksi administratif hingga pidana bisa menanti.

Tumpukan sampah di TPA terbuka seperti ini masih ditemukan di ratusan daerah Indonesia. Tantangan besar di tengah upaya pemerintah membangun sistem pengelolaan sampah permanen senilai Rp 300 triliun. Foto: Ilustrasi/ Eyez Heaven/ Pexels.

Tantangannya? Bukan cuma anggaran, tapi juga komitmen, kapasitas SDM, dan keberanian untuk berubah.

Bukan Sekadar Penghargaan, Adipura Jadi Alat Tekan

Program Adipura 2025 hadir bukan sekadar memberi penghargaan kota bersih. Kini, program itu menjadi alat dorong agar daerah benar-benar melakukan reformasi sistem pengelolaan sampah.

Baca juga: 2029 Bebas Sampah, Kota yang Gagal Dapat Label Kota Kotor

Hanya kota/kabupaten yang tidak punya TPS liar, memiliki sanitary landfill, serta mengelola minimal 50% sampahnya yang berhak atas Adipura Kencana, penghargaan tertinggi. Di sisi lain, wilayah yang masih buang sampah sembarangan dan minim pengelolaan bisa diganjar status “Kota Kotor”.

“Kalau tidak ultimate, tidak akan dapat Kencana,” tegas Hanif.

Biaya Besar, tapi Potensinya juga Besar

Triliunan rupiah memang angka yang mencengangkan. Tapi di balik itu ada peluang besar, yakni menciptakan lapangan kerja, mendorong ekonomi sirkular, dan menyelamatkan lingkungan. Jika semua pihak, mulai pemerintah, swasta, dan masyarakat bergerak bersama, dana itu bisa jadi investasi untuk masa depan, bukan sekadar beban fiskal.

Baca juga: Tas Kece dari Karton Susu, Popsiklus Tunjukkan Sampah Bisa Keren

Sampah adalah soal hari ini, tapi juga harga masa depan. Kalau tidak kita kelola sekarang, tagihannya bisa lebih mahal di kemudian hari. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *