
Red Notice atas Riza Chalid dan Jurist Tan kembali menghidupkan perdebatan hukum lama. Kapan tindakan aparat dinilai sah secara hukum, dan siapa yang bertanggung jawab bila penangkapan dilakukan lintas negara?
DIVISI Hubungan Internasional (Hubinter) Polri baru saja menerima permintaan Red Notice dari Kejaksaan Agung untuk dua tersangka korupsi, Jurist Tan dan Mohammad Riza Chalid. Satu terlibat skandal pengadaan laptop di Kemendikbudristek, lainnya tersangkut korupsi tata kelola migas Pertamina. Keduanya diyakini berada di luar negeri.
Meski tampak teknis, penetapan Red Notice membuka ruang tafsir hukum yang kompleks. Pengalaman kasus Hendra Rahardja lebih dari dua dekade lalu bisa menjadi rujukan yurisprudensi yang relevan.
Red Notice Bukan Alat Paksaan Global
Red Notice bukan surat perintah penangkapan internasional. Ini hanya “permintaan” kepada otoritas asing untuk menangkap seseorang atas dasar hukum negara pemohon. Inilah yang menjadi titik tolak sengketa praperadilan Hendra Rahardja, mantan bos Bank Harapan Sentosa, saat ditangkap di Australia pada 1998.
Baca juga: Kapan Waktu Tepat Ajukan Gugatan Rekonvensi? Simak Putusan MA
Hendra mengajukan praperadilan di PN Jakarta Selatan, menggugat sah atau tidaknya penangkapan dirinya yang diinisiasi Polri melalui Interpol. Hakim kala itu memutus penangkapan tidak sah, karena dilakukan oleh kepolisian asing namun dianggap sepenuhnya dikendalikan oleh pihak Indonesia.
PN Jakarta Selatan bahkan menghukum Polri membayar ganti rugi dan memulihkan harkat martabat pemohon. Namun, ini tak berhenti di sana.
Mahkamah Agung Ubah Arah
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1156 K/PID/2000 membatalkan putusan praperadilan PN Jaksel dan menegaskan dua prinsip penting:
- Praperadilan hanya berlaku atas tindakan penangkapan yang dilakukan langsung oleh penyidik Indonesia. Dalam kasus Hendra, penangkapan dilakukan oleh Polisi Federal Australia. Artinya, mekanisme praperadilan dalam KUHAP tidak relevan untuk menguji sah/tidaknya tindakan itu.
- Pemberian tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga baru wajib dilakukan setelah penangkapan benar-benar terjadi. Dalam kasus ini, penangkapan belum dilakukan oleh Polri secara langsung.
MA juga menilai bahwa permohonan kasasi atas putusan praperadilan secara hukum diperbolehkan. Ini membuka jalan bagi pengujian hukum hingga ke tingkat tertinggi jika menyangkut penegakan hukum internasional dan perlindungan HAM.

Pelajaran dari Yurisprudensi Ini
Yurisprudensi ini menjadi referensi penting di tengah berkembangnya kerja sama penegakan hukum lintas negara, terutama saat otoritas menggunakan sarana Interpol atau menempuh jalur ekstradisi.
Untuk kasus Riza Chalid dan Jurist Tan, Red Notice bukanlah jaminan bahwa keduanya akan otomatis diekstradisi. Negara tempat keberadaan mereka masih punya hak menolak atau memperlambat proses, bahkan bisa memperdebatkan dasar hukum permintaannya.
Baca juga: Putusan MA: Pajak Bumi Bukan Bukti Kepemilikan Tanah
Yang lebih krusial, aparat Indonesia harus memahami bahwa penggunaan Red Notice tetap harus selaras dengan prinsip due process, hak asasi tersangka, serta batas yurisdiksi KUHAP.
Yurisprudensi Hendra Rahardja menegaskan pentingnya kehati-hatian saat hukum nasional bersentuhan dengan sistem hukum negara lain. Penggunaan Red Notice, ekstradisi, hingga penangkapan di luar negeri harus dilandasi tata kelola hukum yang presisi.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.