Pajak PSK: Sah di Hukum, Tersandung Moral Bangsa

Foto: Ilustrasi/ Tara Winstead/ Pexels.

Oleh: Hamdani S Rukiah, S.H, M.H *

ISU pemungutan pajak dari Pekerja Seks Komersial (PSK) kembali menjadi topik panas di Indonesia. Perdebatan ini merambat dari media sosial hingga ruang diskusi para praktisi hukum, politisi, dan tokoh agama.

Secara hukum pajak, argumen pro sulit dibantah. Pengacara senior Hotman Paris Hutapea menegaskan, “Pajak dipungut dari setiap jenis income, baik halal maupun tidak halal.” Sistem perpajakan memang memandang netral sumber penghasilan. Fokusnya hanya pada ada atau tidaknya objek dan subjek pajak.

Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada 2015. Mekar Satria Utama, pejabat DJP kala itu, menyebut prostitusi bisa dikenai pajak, mirip dengan perjudian. Meski ilegal, aktivitas itu menghasilkan pendapatan, dan secara prinsip pajak dapat dipungut.

Namun, di sinilah kontradiksinya. Dalam hukum positif Indonesia, profesi PSK tidak memiliki pengakuan legal. Banyak pemerintah daerah bahkan secara eksplisit melarang prostitusi lewat Perda. Jika pajak benar-benar dipungut, publik akan bertanya, apakah ini berarti Kementerian Tenaga Kerja mengakui PSK sebagai profesi resmi?

Secara teori hukum, jawabannya tidak otomatis “ya”. Pajak adalah instrumen fiskal, bukan instrumen legalisasi. Negara bisa memungut pajak dari aktivitas ilegal sambil tetap menyatakannya dilarang. Namun, di masyarakat yang mayoritas agamis seperti Indonesia, langkah ini mudah dipersepsikan sebagai bentuk pembiaran atau pengakuan terselubung.

Belajar dari Negara Lain

Di Belanda, prostitusi dilegalkan dan diatur ketat. PSK memiliki izin resmi, membayar pajak penghasilan, dan mendapatkan perlindungan hukum sebagai pekerja. Legalitas ini menghapus ruang abu-abu. Pajak dibayar, profesi diakui, dan hak pekerja dijamin.

Jerman mengadopsi model serupa dengan skema “pajak hiburan” (amusement tax) di beberapa kota. PSK membayar pajak harian atau bulanan, dan negara mengatur aspek kesehatan serta keamanan kerja.

Baca juga: Dari Like ke Dakwaan, Medsos Kini Diawasi Pajak dan Hukum

Sebaliknya, Amerika Serikat tidak melegalkan prostitusi secara nasional. Namun, di Nevada, aktivitas ini legal di beberapa county. Pajak dikenakan, tetapi terbatas di wilayah yang mengizinkan. Di negara bagian lain, prostitusi ilegal dan tidak dikenai pajak, untuk menghindari kesan legalisasi terselubung.

Dari ketiga model ini, terlihat jelas, negara yang sukses memungut pajak dari industri seks selalu punya kerangka hukum yang jelas. Baik legalisasi penuh seperti Belanda, atau legalisasi terbatas seperti Nevada. Pemungutan pajak tanpa payung hukum hanya akan menimbulkan kebingungan, bahkan potensi gugatan hukum.

Tantangan di Indonesia

Menerapkan model pajak PSK di Indonesia tanpa legalisasi profesi akan berbenturan dengan peraturan daerah dan norma agama. Mekanisme pendataan, NPWP, hingga perlindungan data pribadi akan menjadi isu besar. Jika pemerintah memilih jalan legalisasi, konsekuensi politik dan resistensi sosial akan sangat tinggi.

Secara hukum pajak, pemungutan dari PSK sah. Tapi tanpa kejelasan arah, apakah ini murni fiskal atau langkah legalisasi, kebijakan ini akan terjebak di ruang abu-abu. Belajar dari negara lain, kunci keberhasilan terletak pada konsistensi antara hukum, moral publik, dan kebijakan negara. ***

  • Penulis adalah Jurnalis dan pemerhati hukum bisnis

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *