Aceh Dua Dekade Damai, Saatnya Mengakhiri Amnesia Sejarah di Kelas

Masjid Raya Baiturrahman berdiri megah di jantung Banda Aceh, bukan sekadar simbol keislaman, tetapi juga saksi bisu transformasi sosial pascakonflik. Di sekitarnya, geliat pendidikan menjadi pintu masa depan generasi Aceh, menghapus jejak trauma dan menumbuhkan harapan baru. Foto: Kay Merlin/ Pexels.

DUA puluh tahun sejak Perjanjian Helsinki 2005, wajah Aceh telah banyak berubah. Gedung sekolah menjulang, beasiswa mengalir, dan pelatihan vokasi digelar di berbagai daerah. Namun di balik kemajuan itu, ada sesuatu yang tetap membeku, yakni ingatan kolektif tentang masa konflik.

Banyak warga masih memilih diam. Menyebut masa lalu dianggap membuka luka lama. Trauma terpendam ini membuat perdamaian di Aceh berjalan di permukaan, sebatas administratif. Padahal, rekonsiliasi sejati hanya lahir jika generasi muda memahami sejarah yang melatarinya.

Pendidikan yang Kehilangan Arah Sejarah

Secara hukum, Aceh punya ruang penuh untuk mengelola pendidikannya. MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU 11/2006) memberi hak menambah muatan lokal sesuai nilai Islami dan adat. Namun di kelas-kelas sekolah, sejarah konflik Aceh nyaris tak terdengar.

Anak-anak Aceh tumbuh dengan buku pelajaran yang tak menjelaskan mengapa daerahnya pernah dilanda darurat militer, mengapa banyak keluarga kehilangan anggota, atau bagaimana proses damai Helsinki terbentuk. Ruang muatan lokal di kurikulum hanya diisi proyek kecil, bukan materi terintegrasi yang membangun kesadaran sejarah.

Baca juga: Nilam Aceh Laris di Dunia, tapi Petaninya Kapan Naik Kelas?

Ini menciptakan risiko state-sponsored amnesia, pelupaan sejarah yang dilembagakan. Konflik, penderitaan, dan proses damai dipinggirkan dari wacana publik. Hasilnya, generasi baru menjadi “lupa” tanpa pernah benar-benar tahu.

Dana Besar, Akar Masalah Terabaikan

Sejak 2008, Dana Otonomi Khusus Aceh mengucur hingga Rp80 triliun. Sebagian besar dialokasikan ke pendidikan. Hasilnya, infrastruktur meningkat pesat. Ratusan gedung sekolah, laboratorium komputer, dan fasilitas modern.

Upacara di sebuah sekolah di Aceh menjadi pengingat pentingnya membangun generasi berpendidikan sebagai fondasi perdamaian berkelanjutan pascakonflik. Foto: Dok. Disdik Aceh.

Namun, investasi itu jarang menyentuh pengembangan kapasitas guru atau penyusunan kurikulum pascakonflik. Sekolah adat seperti dayah, yang punya kedekatan kultural dengan masyarakat, tidak menjadi prioritas dalam kerangka kebijakan pendidikan formal.

Baca juga: Kopi Gayo, Kebanggaan Aceh yang Mendunia

Program seperti Sekolah Rakyat pun tidak benar-benar membawa narasi lokal. Tanpa konsultasi dengan pemangku kepentingan di Aceh, program ini berisiko menjadi versi baru dari pendidikan nasional lama, hanya dengan kemasan berbeda.

Mengajar Damai, Bukan Sekadar Mengajar Mata Pelajaran

Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa memasukkan sejarah konflik ke dalam pendidikan membantu mencegah kekerasan terulang. Rwanda, Bosnia, dan Timor-Leste telah melakukannya dengan adaptasi kurikulum, pelatihan guru, dan forum lintas identitas.

Baca juga: Sabang, Kilometer Nol Indonesia yang Menawan

Aceh dapat mengambil langkah serupa. Materi sejarah konflik harus hadir jelas di kurikulum, bukan sekadar catatan kaki. Guru harus menjadi fasilitator pemulihan sosial, bukan hanya pengajar materi ujian. Sekolah harus menjadi ruang aman untuk membicarakan masa lalu, mendengarkan suara korban, dan membangun empati.

Rekonsiliasi bukan warisan otomatis. Ini harus diajarkan, dipraktikkan, dan dihidupkan di ruang kelas. Pendidikan pascakonflik di Aceh adalah kunci agar damai bukan hanya catatan sejarah, tapi menjadi bagian dari identitas kolektif yang terus bertahan. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *