
PEMERINTAH tengah mendorong pembangunan waste-to-energy (WtE) atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 33 provinsi. Proyek ini digadang-gadang sebagai solusi menekan timbunan sampah perkotaan yang setiap tahun kian mengkhawatirkan. Namun, muncul pertanyaan besar, benarkah ini jalan keluar atau justru berpotensi menjadi jalan buntu?
Menteri Keuangan sempat menyatakan PLTSa akan dibiayai melalui APBN. Pernyataan itu kemudian dibantah Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan yang menegaskan bahwa seluruh pembiayaan akan ditanggung oleh Danantara, lembaga investasi pemerintah. Dengan begitu, proyek ini diklaim tidak akan membebani APBN.
Baca juga: PLTS Sasar 80 Ribu Desa, Saatnya Bilang Bye ke Batu Bara?
Revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 kini dinanti publik. Salah satu poin penting dalam revisi adalah penghapusan tipping fee. Pemerintah daerah hanya diwajibkan menyediakan lahan dan menjamin pasokan sampah selama 20 tahun. Sekilas terdengar sederhana, tetapi dalam praktiknya, ketersediaan sampah yang konsisten bukan hal mudah di tengah tata kelola yang masih lemah.
Realitas Sampah Nasional
Timbunan sampah Indonesia mencapai 33,8 juta ton per tahun. Hanya 60% di antaranya yang terkelola, sementara 40% sisanya masih mencemari sungai, laut, dan lingkungan.
Baca juga: 2029 Bebas Sampah, Kota yang Gagal Dapat Label Kota Kotor
Pemerintah menargetkan 100% pengendalian sampah pada 2029. Untuk itu, selain PLTSa, ada rencana transformasi 343 TPA menjadi sanitary landfill, pembangunan 250 TPST, serta pengoperasian 42.000 TPS3R. Total investasi yang disiapkan untuk rencana besar ini mencapai Rp300 triliun.

Catatan dari Para Pakar
Sejumlah pakar mengingatkan risiko yang bisa muncul. Tumiran dari Universitas Gadjah Mada menekankan, jika seluruh beban pengelolaan sampah diserahkan kepada pengembang PLTSa, hal itu akan sangat merugikan secara ekonomi.
Fabby Tumiwa dari IESR menambahkan, karakter sampah Indonesia yang 70% organik dengan kadar air tinggi membuat PLTSa memerlukan pre-treatment. Proses tambahan ini jelas menambah biaya investasi.
Baca juga: PLTSa di 12 Kota Masih Mandek, Evaluasi Jadi Kunci Percepatan
Sementara itu, Direktur Celios Bhima Yudhistira menyebut biaya pembangunan PLTSa relatif lebih mahal dibandingkan energi terbarukan lain seperti PLTS atap atau mikrohidro. Pemilahan sampah dari rumah tangga yang masih tercampur menjadi tantangan utama.
Antara Harapan dan Risiko
Jika tata kelola diperbaiki, teknologi dipilih dengan tepat, dan skema pembiayaan jelas, PLTSa berpotensi menjadi lompatan besar. Namun, jika tidak, proyek ini hanya akan menambah daftar panjang ambisi megah yang sulit terwujud.
Target membangun PLTSa di 33 provinsi memang terlihat menjanjikan. Pertanyaannya, apakah Indonesia siap membuktikan proyek ini bukan sekadar wacana? ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.