
BANYAK orang percaya, untuk menjadi kaya harus mampu “bekerja dengan tangan orang lain”. Artinya, bukan kita yang mengerjakan semua hal, melainkan membangun sistem agar orang lain dan modal yang bekerja bagi kita. Pandangan ini disokong sejarah panjang teori ekonomi dari Adam Smith hingga praktik konglomerasi modern.
Namun, bagi startup yang baru merintis, pepatah itu sering terasa seperti kemewahan yang masih jauh. Mayoritas wirausaha rintisan justru memulai dengan cara paling sederhana, bekerja dengan tangan sendiri.
“Banyak yang lupa, sebelum mampu mengorganisasi orang lain, founder perlu membangun kepercayaan dan menemukan model bisnis yang tepat. Itu tidak bisa dilompati,” ujar Pakar Manajemen Perubahan, Rhenald Kasali, dalam banyak kesempatan.
Fakta di Lapangan
Laporan e-Conomy SEA 2024 menunjukkan, hanya sebagian kecil startup yang mampu bertahan melewati tahun kelima. Banyak yang terhenti karena gagal mengelola arus kas, tim, dan relasi dengan investor.
Baca juga: Memahami 6 Level Berpikir: Dari Pengetahuan Hingga Evaluasi
Cerita William Tanuwijaya tentang awal perjalanan Tokopedia menjadi contoh klasik. Selama bertahun-tahun ia ikut menulis kode, melayani pelanggan, bahkan mengangkat kardus barang di gudang. Baru setelah sistem dan pasar lebih matang, dia bisa mendelegasikan banyak tugas kepada tim.

Tahapan, Bukan Lompatan
Menurut Peneliti Kewirausahaan UI, Ajeng Wicaksono, memimpin lima orang sangat berbeda dengan memimpin lima puluh orang. Keterampilan membentuk organisasi tidak hadir seketika begitu bisnis berdiri. Karena itu, banyak startup harus menjalani fase founder-driven sebelum menjadi system-driven.
Baca juga: Kiat Jitu Membangun Personal Branding Kuat untuk Gen Z
Keterbatasan modal juga membuat founder harus tetap turun tangan di tahap awal, sambil perlahan membentuk tim inti yang bisa dipercaya. Di titik ini, bekerja dengan tangan sendiri bukan tanda kemiskinan, melainkan bagian dari investasi belajar memimpin.
Risiko Jika Terlalu Cepat “Leverage”
Mempekerjakan banyak orang sebelum produk dan pasar stabil dapat menjerumuskan startup ke masalah biaya dan efisiensi. Bahkan, dorongan untuk segera scale up kerap membuat sebagian startup melakukan praktik yang tak adil terhadap pekerja kontrak atau mitra.
Menjadi kaya ala teori leverage bukan sprint yang bisa ditempuh dalam setahun, melainkan maraton yang memerlukan fondasi kokoh. Para pendiri startup perlu realistis menjalani fase bekerja dengan tangan sendiri, sambil menyiapkan sistem dan jaringan yang kelak memungkinkan “tangan orang lain” bekerja untuk keberlanjutan bisnis mereka. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.