
Perpres 110/2025 membuka peluang baru perdagangan karbon, tapi mampukah kebijakan ini benar-benar menjaga hutan dan satwanya?
KETIKA pemerintah bicara soal perdagangan karbon, banyak orang langsung membayangkan angka-angka besar dan pasar emisi yang rumit. Tapi di balik jargon ekonomi hijau itu, ada harapan yang lebih sederhana menyelamatkan hutan Indonesia.
Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca. Aturan ini menjadi dasar hukum bagi berbagai kementerian, mulai dari Pertanian, Kelautan, hingga Industri, untuk ikut menjual kredit karbon.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, bahkan menyebut kebijakan ini bisa menjadi sumber dana untuk melindungi taman nasional.
“Perdagangan karbon akan mempermudah masuknya dana ke pasar sebagai sumber perlindungan taman nasional,” ujar Zulhas di kantornya, Selasa (21/10).
Baca juga: Kayu Ilegal dari Surga Mentawai, Butuh 100 Tahun untuk Pulih
Ia mencontohkan situasi di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, tempat gajah liar sering keluar hutan karena kekurangan pakan dan minimnya biaya operasional. Sebagian dana dari hasil perdagangan karbon, katanya, akan dialokasikan untuk menjaga ekosistem semacam itu.
Dari Emisi ke Ekonomi Hijau
Perpres 110/2025 menetapkan dua mekanisme utama, perdagangan langsung antar pihak dan perdagangan melalui bursa karbon. Artinya, transaksi bisa dilakukan di dalam maupun luar negeri.

Kebijakan ini membuka ruang bagi sektor-sektor nonenergi untuk ikut dalam ekonomi karbon. Namun, langkah ambisius ini juga memunculkan tantangan baru, bagaimana menjaga tata kelola dan akurasi nilai karbon di setiap sektor?
Ketika setiap kementerian diberi kewenangan mengatur sendiri, risiko perbedaan metodologi dan potensi tumpang tindih semakin besar. Apalagi, belum semua sektor punya sistem verifikasi dan pelaporan emisi yang kuat.
Butuh Aturan Turunan dan Verifikasi
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan perlunya aturan turunan yang memperjelas tanggung jawab antar sektor.
“Kita harus segera merumuskan bagaimana nilai ekonomi karbon akan diemban oleh masing-masing sektor,” katanya dalam pemaparan kinerja KLH/BPLH di Jakarta.
Baca juga: Pasar Karbon Dunia Naik Kelas, Indonesia Siap Ikut Main?
Menurut Hanif, tata kelola karbon tidak boleh berhenti di tingkat kementerian. Pemerintah daerah dan komunitas lokal juga harus dilibatkan, agar target pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contribution (NDC) benar-benar tercapai.
Harapan Hijau atau Ilusi Baru?
Perdagangan karbon bisa jadi momentum besar jika benar-benar mengalirkan manfaat ke lapangan. Membiayai konservasi, riset lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Tapi tanpa pengawasan ketat dan sistem yang transparan, kebijakan ini bisa berubah menjadi sekadar instrumen fiskal tanpa dampak nyata.
Baca juga: Target Reboisasi Prabowo, Mimpi Hijau Indonesia di Panggung Dunia
Indonesia kini berada di persimpangan antara ekonomi karbon dan keadilan ekologi. Pertanyaannya tinggal satu, apakah hutan kita benar-benar akan diselamatkan oleh karbon, atau justru menjadi korban baru dari pasar hijau? ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.