Ketika Netizen Jadi Polisi Udara Jakarta

Ilustrasi keterlibatan warganet dalam mengawasi isu lingkungan di kota besar. Di era digital, tekanan sosial lewat media daring menjadi alat baru untuk menekan perilaku pencemar udara. Foto: Ilustrasi.

JAKARTA punya cara baru menghadapi polusi yang makin gawat, malu di depan publik.
Mulai akhir tahun ini, Pemprov DKI berencana menjatuhkan sanksi sosial bagi pelaku pembakaran sampah atau open burning. Wajah dan identitas mereka bisa muncul di ruang publik, bahkan di media sosial resmi Dinas Lingkungan Hidup (DLH).

“Kita akan mulai melakukan sanksi sosial, di mana pelaku open burning bisa ditampilkan di media sosial Dinas LH,” kata Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto, Jumat (24/10).

Malu Lebih Mahal dari Denda

Selama ini, pelaku pembakaran sampah hanya dikenai denda administratif sebesar Rp500 ribu. Tapi efek jeranya minim. Banyak warga tetap membakar sampah plastik di halaman rumah, di pinggir kali, atau di belakang warung.

Baca juga: Jakarta Diguyur Hujan Mikroplastik, Ancaman Baru dari Sampah Kota

Itu sebabnya muncul ide baru, hukum berbasis rasa malu. Usul ini datang dari Muhammad Reza Cordova, peneliti BRIN yang juga meneliti soal polusi mikroplastik di Jakarta. “Kalau boleh menambahkan, tambahkan sanksi sosial. Orang Indonesia lebih takut malu daripada bayar,” ujarnya.

Reza mencontohkan, pelaku bisa dipajang fotonya di kantor kelurahan atau diunggah di media sosial resmi pemerintah. “Kalau sudah dipajang, saya yakin malu dan kecil kemungkinan mengulang,” katanya.

Langit Jakarta Tak Lagi Bersih

Saran Reza bukan tanpa alasan. Ia adalah ilmuwan yang menemukan bahwa air hujan di Jakarta kini mengandung mikroplastik.

Baca juga: Kenapa Ada Mikroplastik di Langit Jakarta?

Dalam riset BRIN sejak 2022, setiap meter persegi kota ini bisa “diguyur” rata-rata 15 partikel mikroplastik per hari.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ MulaMula.

Partikel plastik itu berasal dari pembakaran limbah, serat pakaian sintetis, dan debu kendaraan. “Siklus plastik kini tak berhenti di laut, tapi naik ke langit dan turun lagi bersama hujan,” jelas Reza.

Baca juga: 18 Kota di Indonesia Terpapar Mikroplastik Udara

Artinya, membakar sampah bukan cuma mengotori halaman rumah, tapi juga menambah racun di udara dan air yang kita hirup setiap hari.

Efek Domino dari Kebiasaan Sehari-hari

Fenomena ini menunjukkan bahwa krisis lingkungan lahir dari perilaku kecil yang diulang terus-menerus. Dan di era media sosial, rasa malu bisa jadi “alat hukum” baru. Bayangkan jika wajah pelaku open burning muncul di Instagram DLH, efek jera bisa berlipat.

Baca juga; Ketika Dunia Memanas, Indonesia yang Paling Kepanasan

Sebagian orang mungkin menganggap langkah ini terlalu ekstrem. Tapi di kota besar seperti Jakarta, di mana udara sudah sesak dan hujan membawa plastik, mungkin memang saatnya malu jadi bagian dari solusi.

Karena di zaman digital ini, netizen bisa lebih cepat menegur daripada aparat.
Dan siapa tahu, justru lewat tekanan sosial online, langit Jakarta bisa kembali biru. Tanpa asap, tanpa malu. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *