
“AIR mengalir sampai jauh…” begitu bunyi iklan legendaris yang dulu terasa sejuk di telinga. Tapi di era sekarang, kalimat itu mendadak terdengar sarkastik. Karena faktanya, air yang diklaim “pegunungan” di botol-botol air minum kemasan (AMDK) ternyata justru mengalir dari… sumur.
Video kunjungan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) ke pabrik air mineral di Subang beberapa hari lalu mendadak viral. Ia tampak kaget mendengar penjelasan bahwa sumber air baku pabrik itu bukan dari mata air pegunungan, melainkan dari air tanah.
Reaksi spontan itu sontak memicu gelombang komentar publik di media sosial. Dari yang sekadar heran, sampai yang merasa “tertipu label”.
Label “Pegunungan” yang Tak Selalu Naik ke Hulu
Tak lama berselang, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq memperkuat kecurigaan publik. Dalam acara Mindialogue CNBC Indonesia (25/10/2025), ia blak-blakan menyebut sebagian besar produk air minum dalam kemasan di Indonesia masih mengandalkan air tanah.
Baca juga: Hijau tapi Bohong, Ketika Greenwashing Menjadi Strategi Korporasi
“Belum ada satupun minuman kemasan yang menggunakan air permukaan secara berkelanjutan. Hanya untuk pricing-nya, iya,” ujar Hanif.
Pernyataan itu menampar kenyataan bahwa label “air pegunungan” selama ini lebih berfungsi sebagai citra, bukan jaminan sumber.

Air tanah memang bisa jadi pilihan praktis, tapi tidak tanpa risiko. Laju rembesannya hanya sekitar satu meter per hari. Artinya, jika disedot terus-menerus tanpa konservasi, krisis air tanah tinggal menunggu waktu.
Klarifikasi dari Aqua
Sorotan publik langsung mengarah ke Danone Aqua, merek air kemasan terbesar di Indonesia.
Corporate Communication Director Danone Aqua, Arif Mujahidin, menjelaskan bahwa air dari pabrik Subang memang berasal dari aquifer, yaitu lapisan air tanah di kawasan pegunungan.
“Pengambilannya menggunakan pipa tertutup untuk menjaga kualitas air dari potensi cemaran,” ujar Arif Mujahidin seperti dikutip CNBC Indonesia (23/10/2025).
Baca juga: Perang Bali Lawan Plastik Dimulai dari Botol
Menurut Arif, air dari aquifer di wilayah pegunungan berbeda secara hidrologi dengan air tanah biasa di dataran rendah.
Namun bagi publik, perdebatan ini bukan hanya soal istilah geologi, tapi soal kejujuran label dan tanggung jawab lingkungan.
Air, Label, dan Kesadaran Konsumen
Fenomena ini membuka mata bahwa literasi lingkungan masyarakat mulai tumbuh. Netizen kini makin kritis. Mereka tak hanya minum, tapi juga ingin tahu dari mana air itu datang dan bagaimana dampaknya bagi bumi.
Baca juga: Klaim ESG Tanpa Bukti Bisa Berujung Denda Jutaan Dolar
“Air pegunungan” ternyata bukan sekadar soal rasa, tapi juga soal etika.
Karena jika airnya datang dari sumur, sementara gunung hanya jadi nama di label, maka kita semua sedang meneguk paradoks di tengah krisis air tanah yang nyata. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.