Bendera Merah Putih dalam jaringan digital. Semangat Sumpah Pemuda kini menjelma menjadi kesadaran baru di era algoritma. Foto: Ilustrasi/MulaMula.
Oleh: Hamdani S. Rukiah
PADA 28 Oktober 1928, sekelompok pemuda berkumpul di sebuah rumah di Jalan Kramat, Jakarta. Mereka datang dari berbagai latar belakang, bahasa, dan daerah, tapi bersatu dalam satu keyakinan bahwa masa depan bangsa harus diperjuangkan bersama. Dari sana lahirlah tiga kalimat yang kemudian mengubah arah sejarah, Sumpah Pemuda.
Kini, hampir seabad kemudian, semangat itu masih bergema. Namun, medan juangnya sudah bergeser. Jika dulu penjajahan datang dalam bentuk kekuasaan politik dan ekonomi, hari ini kolonialisme hadir dalam bentuk yang lebih halus, kolonialisme algoritma.
Penjajahan yang Tak Terlihat
Kita tidak lagi dijajah oleh bangsa asing yang datang membawa senjata, melainkan oleh sistem digital yang mengatur persepsi dan kesadaran kita.
Setiap kali kita menggulir layar ponsel, algoritma bekerja menentukan apa yang kita lihat, siapa yang kita percayai, bahkan apa yang kita cintai.
Algoritma menciptakan ruang gema, echo chamber, yang membuat kita nyaman dalam gelembung kebenaran versi masing-masing, sementara realitas di luar sana terpecah-pecah.
Jika dulu perjuangan para pemuda adalah merebut tanah air, kini tantangan generasi muda adalah merebut kesadaran. Sebab tanpa kesadaran digital, kita bisa kehilangan kemerdekaan berpikir. Kita bisa menjadi bangsa yang “merdeka di atas kertas”, tapi sesungguhnya dijajah oleh logika mesin yang bekerja tanpa nurani.
Kolonialisme algoritma tidak memaksa. Ia membujuk. Ia memberi sensasi relevansi yang meninabobokan, membuat kita merasa tahu padahal sesungguhnya dikendalikan. Algoritma mengatur cara kita membaca dunia, memilih berita, bahkan menentukan arah politik. Dalam diam, algoritma membangun tembok-tembok halus yang memisahkan manusia dari manusia lain.
Menulis Ulang Sumpah Itu
Lalu, di mana posisi Sumpah Pemuda dalam lanskap digital hari ini? Barangkali sudah waktunya kita menulis ulang sumpah itu. Bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyambung maknanya ke abad digital.
“Kami, putra dan putri Indonesia, bersumpah: Satu kesadaran digital yang merdeka dari manipulasi. Satu ruang maya yang beradab. Satu bangsa yang tetap berpikir kritis di tengah badai informasi.”
Dua sosok muda menatap peta digital Indonesia. Di era algoritma, kesadaran menjadi bentuk baru dari perjuangan. Foto: Ilustrasi/MulaMula.
Sumpah semacam ini mungkin terdengar idealistis. Tapi, bukankah sejarah bangsa ini dibangun dari idealisme anak muda yang berani bermimpi besar?
Di tahun 1928, mereka bersatu tanpa jaringan internet, tanpa algoritma, tanpa kecerdasan buatan. Yang mereka miliki hanyalah kesadaran, bahwa kemerdekaan hanya bisa lahir dari persatuan.
Bangkit dari Kolonialisme Algoritma
Kini, tugas generasi digital bukan sekadar bersuara, tapi menyaring suara. Bukan sekadar terhubung, tapi sadar akan keterhubungan itu sendiri. Kita perlu menumbuhkan etika baru, kesadaran kritis bahwa di balik setiap klik, ada ideologi yang bekerja.
Jika dulu mereka melawan penjajahan fisik, kini kita melawan penjajahan kognitif. Dan mungkin, kemenangan terbesar generasi ini bukan lagi ketika kita bebas berbicara di ruang digital, tapi ketika kita tetap mampu berpikir jernih di tengah kebisingannya.
Sebab kemerdekaan yang sejati bukan hanya ketika tubuh kita bebas, tapi ketika pikiran kita tak lagi dijajah oleh algoritma. Dan dari sanalah, Sumpah Pemuda menemukan bentuk barunya. Sumpah Kesadaran Digital.
Selamat Hari Sumpah Pemuda. Semoga semangat persatuan itu terus hidup, di dunia nyata maupun di ruang maya. ***