Kenapa Indonesia Belum Bisa Move On dari Energi Fosil?

Kontras dua dunia energi. PLTU yang masih mendominasi dan ladang turbin angin–surya yang mulai merebut panggung. Foto: Ilustrasi/ AI-generated/ MulaMula.

INDONESIA memang sudah ngomong lantang soal energi bersih. Target transisi energi juga terus diumumkan ke publik. Tapi di balik semua rencana besar itu, ada satu kenyataan yang susah dibantah, Indonesia belum bisa benar-benar move on dari energi fosil.

Alasannya? Ternyata dalam, ribet, dan erat banget dengan ekonomi negara.

Penasihat Presiden untuk Urusan Energi, Purnomo Yusgiantoro, mengingatkan hal ini dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO). Menurut dia, energi fosil masih menjadi “penopang besar” yang nggak bisa langsung dicabut begitu saja. Tidak peduli seberapa cepat tren global berlari ke energi bersih, Indonesia tetap harus memainkan permainan dua kaki, mendorong EBT sambil menjaga fosil tetap jalan.

Fosil Masih Jadi Mesin Uang Negara

Data 2024 bikin kita paham kenapa move on itu sulit. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor energi dan minerba mencapai Rp269,6 triliun, atau 46,5% dari total PNBP nasional.
Kontribusinya pun jelas banget:

  • Minerba: Rp138 triliun
  • Migas: Rp110,9 triliun
  • EBTKE: Rp2,8 triliun

Gapnya? Lebar banget. Indonesia masih mengandalkan sektor fosil untuk menjaga APBN tetap stabil.

Baca juga: COP30 Belém: Lula Tagih Janji Dunia Kurangi Fosil Sekarang, Bukan Nanti

Belum selesai. Investasi nasional juga masih berat ke hilirisasi fosil dan minerba. Dari total investasi Rp407,8 triliun pada 2024, bagian terbesarnya mengalir ke smelter nikel, tembaga, bauksit, serta petrokimia berbasis minyak dan gas.
Artinya, industri dan investor belum benar-benar “siap” beralih.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ MulaMula.
Cadangan Besar yang Bikin Susah Lepas

Indonesia punya shale oil, shale gas, coal bed methane, hingga sumur-sumur tua yang masih bisa dimonetisasi. Selama cadangan ini dianggap penting untuk menjaga stabilitas energi, pemerintah bakal tetap menahan rem tangan saat berbicara tentang penghapusan fosil.

Baca juga: 80 Negara Desak Peta Jalan Penghapusan Fosil, COP30 Masuk Babak Penentu

Tapi Purnomo juga kasih catatan keras.Tteknologi ramah lingkungan harus diwajibkan. Mulai dari pengurangan emisi, efisiensi proses, sampai penggunaan teknologi penangkap karbon.

EBT Memang Naik, tapi Belum Menjadi “Bintang Utama”

Meski begitu, pemerintah tetap menekankan pentingnya energi terbarukan. Air, surya, angin, panas bumi, bioenergi sampai hidrogen dan nuklir terus didorong. Alasannya sederhana: energi bersih punya multiplier effect besar ke ekonomi masa depan, menciptakan industri baru, lapangan kerja baru, dan ruang inovasi.

Baca juga: Raksasa Tertidur Panas Bumi, Bangun atau Tetap Mimpi?

Tapi lagi-lagi, untuk benar-benar takeover posisi fosil, EBT harus menang di lapangan ekonomi. Harganya harus kompetitif, infrastrukturnya siap, dan kepastian regulasinya kuat.

Indonesia di Persimpangan

Masalahnya, Indonesia ada di posisi unik. Negara yang cadangan fosilnya besar, tapi potensi energi bersihnya juga sangat besar. Dua-duanya punya nilai strategis. Dua-duanya menopang masa depan.

Karena itu, perjalanan transisi energi kita memang tidak bisa secepat negara lain. Ada struktur ekonomi yang harus disesuaikan. Ada pendapatan negara yang harus dijaga. Ada industri yang harus diberi waktu beradaptasi.

Transisi energi tetap jalan. Tapi move on total? Belum sekarang.
Dan justru di titik ini, kebijakan energi Indonesia jadi menarik untuk diamati, terutama menjelang 2030, ketika dunia akan menilai apakah kita benar-benar siap menjadi pemain besar di era ekonomi hijau. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *