Ketika Kreator Menjadi Buruh Algoritma

Kreator konten duduk sendirian di bawah sorotan cahaya, menatap layar algoritma raksasa yang mengatur hidup digitalnya. Ilustrasi peran kreator di era kapitalisme algoritma. Foto: Ilustrasi/ AI-generated/ MulaMula.

Oleh: Hamdani S. Rukiah *

SAYA sedang “puasa” media sosial beberapa bulan terakhir. Bukan karena kehilangan semangat atau kehabisan ide, tapi karena saya ingin mengambil jarak. Terlalu lama saya merasa bekerja untuk sesuatu yang tidak lagi terasa seperti ruang berbagi, melainkan ruang eksploitasi. Ruang yang mengubah para kreator menjadi buruh tanpa kontrak, dan algoritma menjadi mandor yang menentukan siapa yang layak tampil dan siapa yang dibuang ke lubang sunyi di dasar timeline.

Selama bertahun-tahun kita percaya bahwa media sosial adalah demokratisasi kreativitas. Siapa pun bisa bicara, siapa pun bisa didengar. Tapi, keyakinan itu kini retak. Apa yang dulu panggung publik kini berubah menjadi pasar satu pintu. Kalau ingin dilihat, bayar. Kalau tidak, silakan berteriak sekeras mungkin, hasilnya tetap sama, sunyi.

Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa platform semakin agresif menawarkan paket “boost” konten. Rp150.000 untuk menaikkan tayangan, Rp350.000 untuk menambah follower, Rp700.000 untuk menjangkau audiens lebih luas. Seolah berkata, cuma perlu bayar, nanti algoritma akan lembut sama kamu. Pertanyaannya, kok enak benar ini yang punya platform?

Baca juga: Mengungkap Fenomena “Kebahagiaan Palsu” di Media Sosial

Kreator yang membuat konten, membeli peralatan, membayar internet, menghabiskan waktu berjam-jam untuk editing, tapi platform yang panen cuan. Dan demi mendapatkan jangkauan yang dulu gratis, kita dipalak lewat promosi berbayar. Ironis banget. Bahkan kalau di dunia nyata, pola bisnis seperti ini bisa disebut pay-to-work, bukan pay-to-win.

Sejak kapan kreator berubah menjadi tenaga kerja tak bergaji yang harus membayar agar ‘produk’ pekerjaannya bisa terlihat? Jawaban paling jujur, sejak algoritma menggantikan peran ruang publik digital.

Ekonomi Kreator yang Timpang
Desain Grafis: Daffa Attarikh/ MulaMula.

Industri membesar. Platform kaya raya. Tapi, mayoritas kreator hanya memunguti remah di lantai tambang emas digital.

Kapitalisme Algoritma dan Pungli Digital

Fenomena ini bukan sekadar soal model bisnis. Ini masalah etika dan ketidakadilan struktural. Platform tak lagi posisi sebagai mitra, tetapi sebagai pemilik alat produksi, distribusi, sekaligus penentu nasib.

Kreator tidak lagi dipandang sebagai subjek, melainkan mesin produksi konten gratis. Kita mengisi gudang mereka, sementara mereka menjual “ruang udara” kepada kita sendiri. Kalau di dunia nyata ini disebut pungutan liar, di dunia digital mereka menyebutnya fitur promosi.

Baca juga: Ketika Media Sosial Tak Lagi Sosial: Algoritma, Influencer, dan Krisis Koneksi

Akibatnya, semakin banyak kreator terjebak dalam kecemasan performatif. Selalu gelisah melihat angka views, angka likes, dan angka followers. Studi akademik menyebut gejala ini sebagai algorithmic anxiety, tekanan psikologis akibat merasa nilai diri ditentukan oleh mesin yang tak transparan dan tak manusiawi. Kita tidak lagi mencipta untuk pesan, melainkan untuk angka.

Sebagai praktisi media dan aktivis yang percaya pada ruang digital yang sehat, saya melihat ini sebagai persimpangan sejarah. Kita berada di ambang transformasi, ketika demokrasi digital bergeser menjadi kapitalisme algoritma.

Tag harga yang menggantung di atas tombol “Boost Post – Pay Now”. Ilustrasi pungutan digital yang menjerat kreator di era algoritma. Foto: Ilustrasi/ AI-generated/ MulaMula.
Merebut Kedaulatan Digital

Lalu bagaimana kita melawan? Awal paling realistis adalah merebut kembali kedaulatan digital.
Dengan cara membangun ruang yang benar-benar milik kita sendiri:

  • Website dan media yang kita kendalikan
  • Newsletter dan komunitas privat tanpa intervensi algoritma
  • Produk digital yang menempatkan kreator sebagai pemilik
  • Kolaborasi antar kreator untuk memperkuat daya tawar

Karena pada kenyataannya, di platform sosial kita tidak pernah benar-benar memiliki audiens. Follower hanyalah tamu di rumah orang lain. Pemilik rumah bisa mengusir atau menyembunyikan mereka kapan saja.

Dan untuk siapa pun yang merasa lelah atau muak, percayalah itu bukan tanda kelemahan.
Itu tanda bahwa tubuh dan pikiranmu sedang menolak dieksploitasi.

Baca juga: Mejeng Sekejap, Klaim Seolah Akrab: Wajah Lain Media Sosial

Karena sesederhana ini logikanya.

Kalau kamu bikin konten gratis, kamu lagi kerja tanpa digaji.
Kalau kamu sampai harus bayar supaya kontenmu terlihat, kamu bukan kreator, kamu buruh algoritma yang lagi dipalak.

Sudah cukup jadi ATM berjalan.
Sudah cukup jadi sapi perah digital.

Dan kalau suatu hari algoritma bertanya kenapa kamu pergi, jawab saja:

“Aku resign, Bos. Cari buruh lain.” ***

  • Hamdani S. Rukiah, SH, MH
    Founder & Editor-in-Chief Mulamula Media Group. Praktisi media dan aktivis ekosistem kreator digital.

Tulisan ini adalah opini pribadi berdasarkan pengalaman dan refleksi sebagai praktisi media dan kreator konten. Tidak bermaksud menyerang pihak mana pun secara spesifik, melainkan mengulas fenomena struktural ekosistem digital.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *