
AIR bah memang sudah surut, tetapi harapan belum. Di tepi Sungai Krueng Tingkeum, ribuan orang masih berdiri menunggu. Menunggu kabar keluarga, menunggu jalan pulang, menunggu bantuan, menunggu apa pun yang bisa membuat mereka merasa dunia belum sepenuhnya runtuh.
Sejak Jembatan Kutablang patah diterjang banjir besar pada 26 November 2025, Aceh seperti terbelah dua. Jalur nasional lumpuh, desa-desa terisolasi, dan kehidupan sehari-hari mendadak berhenti di tengah arus sungai yang keruh dan perkakas baja yang kini tergantung tanpa daya.
Di tepi sungai itu, berdiri, atau tepatnya terhenti, kerangka besi Jembatan Kutablang, sebuah infrastruktur vital di jalur nasional Aceh–Medan yang kini patah di tengah, seperti tubuh yang kehilangan tulang punggungnya.
Jembatan yang dibangun dengan dana APBN sekitar Rp 40 miliar pada 2017 itu tak mampu menahan derasnya arus. Fondasinya tergerus hingga kolaps, memutus alur kehidupan di Bireuen, Sigli, Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa, hingga Medan. Dalam sekali patahan, Aceh seperti kembali menjadi gugusan wilayah terpisah. Tanpa akses, tanpa kepastian, tanpa waktu yang memihak.
Ribuan Orang di Tepi Sungai, Menunggu Kabar Hidup-Mati
Sejak jembatan itu runtuh, pemandangan di tepi Krueng Tingkeum berubah menjadi titik paling emosional dalam bencana banjir Aceh. Ribuan orang berdiri berjam-jam di pinggir sungai setiap hari. Ada yang membawa pakaian kering, ada yang menenteng beras dan air mineral, ada yang hanya membawa doa dan wajah cemas.

Mereka semua menunggu giliran naik sampan kayu milik warga desa, atau kini perahu Satpol Air, untuk diseberangkan. Bukan sekadar ingin lewat, tetapi ingin mencari saudara mereka yang hingga kini belum mampu mengirim kabar, karena listrik padam, jalan hancur, dan jaringan telekomunikasi sempat mati total.
Di tepian itu, air sungai keruh memantulkan wajah-wajah lelah yang tak dapat menyembunyikan satu hal, ketakutan bahwa mereka mungkin terlambat.
Baca juga: Banjir dan Longsor Lumpuhkan Pidie Jaya, Aceh
Seorang ibu yang menggenggam tas plastik berisi baju anaknya berkata lirih, “Anak saya sudah tiga hari tidak bisa dihubungi. Saya tidak tahu apakah ia mengungsi atau terseret air.” Kalimat itu tenggelam bersama riuh suara mesin perahu kecil yang terus bolak-balik tanpa henti.

Tidak Hanya Terputus, Tetapi Terisolasi
Jembatan Kutablang bukan sekadar penghubung dua sisi sungai. Jembatan ini adalah nadi transportasi Aceh, penghubung logistik, bantuan darurat, akses obat-obatan, hingga jalur evakuasi dari dan menuju Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe, dan Medan.
Sejak jembatan runtuh, banyak desa di hulu Sungai Peusangan terisolasi. Bantuan logistik tertahan lama. Mobil bak terbuka, truk bantuan, hingga ambulans tidak bisa melintas. Warga yang sakit sulit dijemput. Mereka yang kehilangan rumah belum bisa ditemui keluarganya. Semua harus menunggu perahu kecil yang kapasitasnya terbatas.
Baca juga: Aceh Lumpuh: 21 Jembatan Putus, 8 Ruas Jalan Rusak Dihantam Banjir
Dalam beberapa kasus, keluarga yang ingin mengantar jenazah pun harus memutar jauh atau menunggu perahu tradisional. Setiap menit menjadi beban emosional.
Bencana ini tidak hanya merusak fisik jembatan, tetapi juga memutuskan akses kemanusiaan.

Infrastruktur Vital yang Memerlukan Ketahanan Baru
Menurut data Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) I Aceh, jembatan itu dibangun pada 2017. Namun debit sungai yang melonjak akibat curah hujan ekstrem, penggundulan kawasan hulu, dan tekanan banjir-lintas-desa memperlihatkan bahwa konstruksi infrastruktur lama tidak lagi mampu menghadapi pola cuaca baru yang ekstrem dan tidak terduga.
Runtuhnya Jembatan Kutablang adalah alarm keras bagi negara. Ketahanan infrastruktur kita belum siap menghadapi era bencana hidrometeorologi yang semakin intens akibat perubahan iklim.
Setiap elemen yang rapuh membuka jalan pada krisis kemanusiaan berikutnya. Dan itu yang terjadi di Aceh hari ini.

Memanggil Nurani Penguasa dan Orang-orang Berpunya
Di antara ribuan orang yang menunggu di tepi sungai setiap hari, tidak ada yang meminta banyak. Mereka hanya ingin bisa mencapai keluarga mereka. Mereka ingin memastikan bahwa orang yang mereka cintai selamat.
Kini, mereka berdiri di tepian sungai yang sama, menatap jembatan yang patah, berharap negara bergerak lebih cepat.
Aceh tidak butuh pidato.
Aceh butuh jembatan darurat, akses cepat, logistik memadai, dan rekonstruksi yang tahan iklim.
Dan Aceh butuh solidaritas. Dari siapa saja yang memiliki kuasa, kemampuan, atau sekadar kemanusiaan yang masih hidup.
Karena di Krueng Tingkeum, setiap jam keterlambatan bisa berarti perbedaan antara hidup dan kehilangan. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.