
Ketika yang Surut Bukan Hanya Air
AIR sudah surut di sebagian tempat. Tapi di banyak sisi, kehilangan masih basah.
Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bukan hanya terbentang sebagai peta bencana, tetapi sebagai cermin yang memantulkan sesuatu yang ikut tenggelam, cara kita saling merasa.
Mungkin empati bukan lenyap.
Empati hanya tidak pernah sungguh-sungguh diajarkan.
Kita tumbuh dalam sistem yang mahir membaca curah hujan dan debit sungai, tetapi gagap membaca wajah seseorang yang baru kehilangan rumah. Kita menghafal mekanisme evakuasi, namun jarang mempelajari bahasa trauma.
Bacajuga: Aksara: Semua Ingin Didengar, tapi Sedikit yang Mau Mendengar
Infrastruktur Sunyi
Di pengungsian, empati kadang hadir sunyi.
adik membagi selimut;
tetangga memasak untuk orang asing;
sopir logistik tidur di kabin karena akses macet tiga hari.
Semua ini bukan kelembutan sentimentil, melainkan infrastruktur sosial yang membuat masyarakat tetap manusia.

Dari Perasaan ke Kemampuan Publik
Namun di ruang digital, empati tampak seperti baterai yang cepat habis. Kita scroll bencana lalu berpindah ke hiburan. Ada rasa bersalah halus, tetapi mudah kita redam. Noise mengalahkan nurani.
Banjir ini juga menyingkap pola lain, siapa yang disalahkan bergerak lebih cepat daripada siapa yang didengar. Dalam gegap argumen politik dan finger-pointing, pertanyaan paling dasar terabaikan, “Bagaimana kabarmu sungguh-sungguh?”
Baca juga: Aksara: Hidup Tanpa Membaca, tapi Penuh Berdebat
Jika empati perlu dievakuasi, barangkali ia harus diangkat dari zona perasaan ke wilayah kemampuan publik.
Empati bukan kelembutan pribadi, empati kompetensi sosial.
Empati harus masuk ke kebijakan
hadir dalam cara negara mendengar pengungsi, bukan hanya mengevakuasi mereka;
tampak dalam cara otoritas merespons suara warga, bukan sekadar konferensi pers.
Lalu di level kecil, empati harus hidup dalam keseharian
dalam cara kita membalas pesan
dalam kesediaan membiarkan orang mengeluh tanpa segera kita ceramahi
dalam kemampuan menunda penilaian, agar yang ditolong tidak merasa dipaksa bersyukur.
Baca juga: Aksara: Dunia yang Mencari Kebenaran di Kolom Komentar
Aceh, Sumut, dan Sumbar hari ini adalah ruang belajar.
Banjir akan surut.
Jalan akan dibuka.
Rumah akan dibangun ulang.
Pertanyaan yang tertinggal justru ini,
apakah empati kita ikut bangkit, atau tetap tertinggal di lumpur?
Mungkin pelajaran paling pelan dari bencana besar adalah ini:
kemanusiaan hadir bukan ketika bantuan sampai, tetapi ketika kita memilih untuk merasa sebelum menilai.
Lalu, siapkah kita mengevakuasi empati itu kembali? ***
Salam Literasi
Catatan Redaksi
- Aksara adalah rubrik khusus mulamula.id yang hadir setiap akhir pekan untuk menggugah publik agar kembali ke khitah ilmu: membaca, memahami, dan berpikir. Lewat tulisan reflektif, satir, hingga inspiratif, Aksara mengingatkan bahwa peradaban besar tidak lahir dari kecepatan scroll, tapi dari halaman yang dibaca dengan sabar.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.
Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA