Akhir Era Sepatu Ki(Ba)ta di Purwakarta

Foto: bata.com.

HAMPIR semua generasi yang hidup di Indonesia akrab dengan merek sepatu satu ini; Bata. Semua orang menyebutnya Sepatu Bata. Kenangan lintas generasi Indonesia pada sepatu brand asal Cekoslowakia ini semoga tidak benar-benar menjadi kenangan untuk selamanya. Sebab, Bata mulai memutuskan menutup salah satu lini produksinya di Indonesia, yakni pabrik di Purwakarta.

Bata gagal bertahan di tengah derasnya arus persaingan dan perubahan sebelum mampu bangkit akibat dihantam ekses pandemi COVID-19.

PT Sepatu Bata Tbk (BATA) baru saja mengumumkan penutupan pabriknya yang berada di Purwakarta, Jawa Barat. Produsen sepatu yang menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia sejak tahun 1931 ini mengaku berat menjalankan operasional karena kerugian yang terus membengkak.

“Keputusan ini sangat sulit bagi kami. Kami telah berusaha untuk tetap bertahan, namun kerugian yang terus meningkat dan berbagai tantangan operasional lainnya membuat kami tidak memiliki pilihan lain,” ujar Corporate Secretary Sepatu Bata, Hatta Tutuko.

Firman Bakrie, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), turut angkat bicara mengenai kondisi dunia usaha sepatu di tahun 2024 yang belum sepenuhnya pulih dari efek pandemi COVID-19. Menurutnya, tantangan besar masih menghadang para pengusaha sepatu, terutama dari sisi konsumsi dan berbagai faktor lain yang menambah beban industri.

Salah satu tantangan utama adalah tingginya upah minimum di Jawa Barat. UMK 2024 Kabupaten Purwakarta, yang merupakan tempat pabrik Bata, mencapai Rp 4.499.768, menjadikannya salah satu yang tertinggi di Indonesia. Biaya tenaga kerja yang tinggi ini merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi biaya produksi dan menjadi beban bagi industri padat karya seperti alas kaki.

Selain itu, produsen sepatu juga harus berhadapan dengan harga bahan baku yang terus meningkat. Ada pula beban tambahan dari pajak bea masuk yang dikenakan pada impor bahan baku. Sejak 2019, sebelum pandemi, bahan baku dikenakan bea masuk tambahan untuk setiap meter kain yang diimpor, menjadikannya tidak kompetitif bagi produsen lokal.

Pasar domestik yang lesu juga menjadi masalah serius bagi produsen sepatu seperti Bata. Momen-momen besar seperti Natal, Pemilu, dan Lebaran yang biasanya meningkatkan penjualan, kali ini tidak mampu mengerek penjualan produk sepatu dan sandal lokal. Bahkan, persiapan untuk Lebaran juga menunjukkan potensi penurunan karena kenaikan inflasi yang memengaruhi daya beli masyarakat, terutama untuk pasar kelas menengah ke bawah yang sangat sensitif terhadap kondisi ekonomi.

Kondisi ini semakin parah bagi pabrik-pabrik yang orientasinya adalah pasar lokal. Berbeda dengan investasi baru di sektor alas kaki yang umumnya berorientasi ekspor, pabrik-pabrik lokal seperti Bata lebih mengandalkan pasar domestik yang saat ini sedang lesu.

Meskipun teknologi dan inovasi di sektor ini tidak terlalu berdampak besar pada pasar lokal, persaingan dari startup baru yang beroperasi secara online menambah tantangan bagi Bata yang selama ini mengandalkan jaringan distribusi offline yang kuat.

Terakhir, serangan produk impor ilegal menjadi salah satu gangguan besar bagi industri sepatu lokal. Produk-produk impor ilegal menciptakan kompetisi yang tidak sehat dan semakin menyulitkan pelaku usaha yang taat aturan dan hukum.

Dengan berbagai tantangan ini, keputusan Bata untuk menutup pabriknya di Purwakarta menjadi sebuah kenangan pahit bagi banyak generasi di Indonesia. Sepatu Bata, yang pernah menjadi bagian penting dari keseharian, semoga tidak benar-benar tinggal cerita dalam sejarah industri alas kaki Tanah Air dengan penutupan pabrinya di Purwakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *