
EMPAT pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara resmi berganti status administratif. Pemerintah pusat menetapkan Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek sebagai bagian dari Sumatera Utara. Keputusan ini tertuang dalam Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Kebijakan ini langsung menempatkan keempat pulau itu di bawah naungan Kabupaten Tapanuli Tengah. Namun, sejarah panjang, status hunian, hingga simbol administratif di atas pulau-pulau tersebut kini menjadi sorotan publik.
Pulau Panjang, Destinasi Wisata Bernuansa Tropis
Pulau Panjang dikenal sebagai salah satu mutiara Kepulauan Banyak. Pantainya berpasir putih halus. Lautnya jernih dengan gradasi biru toska dan hijau zamrud. Pepohonan kelapa menghiasi hamparan pantai.
Sejak 2019, pemerintah daerah dan pelaku wisata mulai membangun fasilitas pendukung seperti cottage, bungalow, hingga penginapan bergaya tradisional Aceh. Ragam wahana wisata air — dari banana boat, kayak, hingga snorkeling — menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Aktivitas wisata di Pulau Panjang turut menghadirkan kehidupan ekonomi lokal, meskipun belum sepenuhnya membentuk hunian permanen.
Pulau Lipan, Alam Liar yang Masih Perawan
Pulau Lipan berbeda. Pulau ini tak berpenghuni dan tetap mempertahankan kondisi alaminya. Vegetasi tropis seperti kelapa, bakau, dan tumbuhan pantai tumbuh lebat.
Kejernihan air lautnya memukau pengunjung. Dasar laut terlihat jelas dari permukaan. Snorkeling, fotografi alam, dan ekspedisi menjadi daya tarik utama bagi wisatawan yang mencari suasana sunyi.
Akses menuju Pulau Lipan maupun Pulau Panjang dimulai dari Pelabuhan Singkil, dilanjutkan perjalanan ke Pulau Balai, pusat administrasi Kepulauan Banyak. Dari sana, speedboat mengantar wisatawan dalam waktu 30-45 menit, dengan tarif sewa berkisar Rp 500.000 hingga Rp 1,5 juta.
Pulau Mangkir Gadang: Toponim Sah, Penduduk Nihil
Pulau Mangkir Gadang terletak di Samudra Hindia, kini tercatat sebagai bagian dari Kecamatan Manduamas, Tapanuli Tengah. Nama pulau ini sudah disahkan sejak survei toponim 2006 dan verifikasi 2007.

Dengan pantai berpasir putih, vegetasi kelapa, dan mangrove, pulau ini tetap tak berpenghuni hingga kini. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan statusnya sebagai pulau kosong.
Pulau Mangkir Ketek: Ada Tugu, Tapi Tanpa Penghuni
Pulau Mangkir Ketek terletak berdekatan dengan Mangkir Gadang. Lokasinya sudah terverifikasi dalam koordinat resmi. Vegetasinya serupa, dan hingga kini tak berpenghuni.
Namun, pulau ini memuat simbol administratif penting. Terdapat prasasti dan tugu “Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, yang dibangun Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil pada 2008 dan 2018. Tugu itu menegaskan klaim administratif Aceh atas pulau ini selama bertahun-tahun.
Berpenghuni atau Tidak?
Dari empat pulau tersebut, hanya Pulau Panjang yang menunjukkan aktivitas manusia secara musiman. Kehadiran fasilitas wisata dan penginapan menandakan adanya aktivitas hunian, meskipun belum permanen.
Baca juga: 4 Pulau Sengketa Aceh-Sumut, Ini Alasan Pusat Memutuskan
Pulau Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek tetap tidak berpenghuni hingga saat ini. Kendati begitu, simbol administratif di Pulau Mangkir Ketek memperlihatkan dinamika pengelolaan wilayah yang lebih kompleks.
Status Baru, Polemik Baru
Keputusan pemerintah pusat memindahkan status administratif empat pulau ini menimbulkan berbagai reaksi, terutama dari pihak Aceh. Meski dua pulau tidak berpenghuni, keberadaan simbol administratif menjadi bagian dari dasar perdebatan.
Sengketa batas wilayah ini menambah daftar panjang isu-isu sensitif terkait kewenangan pusat dan daerah, khususnya dalam bingkai otonomi khusus Aceh. Perpindahan status ini menegaskan pentingnya kejelasan hukum tata batas wilayah, sekaligus menunjukkan kerentanan politik identitas dalam pengelolaan perbatasan administrasi di Indonesia. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.