Bryan Johnson, Miliarder yang Menantang Penuaan Lewat Biohacking

Bryan Johnson (kanan) bersama putranya, Talmage Johnson, dalam sesi terapi transfusi plasma. Mereka menjalani prosedur pertukaran darah antargenerasi sebagai bagian dari eksperimen biohacking untuk memperlambat proses penuaan. Foto: Instagram/ @bryanjohnson_.

BAYANGKAN seseorang yang setiap hari menelan lebih dari 50 suplemen, menjalani transfusi plasma dari darah anaknya, dan menghabiskan jutaan dolar demi satu tujuan: hidup lebih lama, atau bahkan abadi. Itulah kisah yang diangkat dalam film dokumenter Netflix berjudul Don’t Die: The Man Who Wants to Live Forever.

Blueprint Menuju Hidup Kekal

Bryan Johnson bukan orang biasa. Pria kelahiran 22 Agustus 1977 ini adalah pengusaha teknologi yang pernah menjual perusahaannya, Braintree, senilai ratusan juta dolar. Setelah kesuksesan finansial, Johnson beralih ke obsesi barunya: melawan penuaan.

Melalui program yang ia sebut “Blueprint”, Johnson menerapkan protokol kesehatan ekstrem. Setiap hari ia bangun pukul 5 pagi, menjalani diet vegan ketat, berolahraga rutin, dan meminum antara 54 hingga 91 suplemen. Ia bahkan mencoba terapi plasma, dengan menggunakan darah anak remajanya sebagai sumber transfusi.

Bryan Johnson menjalani terapi cahaya sebagai bagian dari rutinitas anti-penuaan ekstremnya. Setiap prosedur dijalankan secara disiplin dalam program “Blueprint” miliknya. Foto: Instagram/ @bryanjohnson_.
Biaya dan Risiko yang Tak Mainstream

Tak tanggung-tanggung, Johnson menggelontorkan sekitar USD 2 juta (setara Rp 32 miliar) setiap tahun untuk eksperimen ini. Prosedur yang ia jalani banyak berada di luar standar regulasi medis umum. Mulai dari terapi gen, pengukuran usia biologis secara rutin, hingga eksperimen yang mengundang perdebatan etika.

Dokumenter ini menyoroti dilema antara sains, etika, dan ambisi manusia. Beberapa ahli mengapresiasi terobosannya. Namun banyak pula yang mempertanyakan validitas ilmiah hingga sisi moral praktik tersebut, khususnya soal transfusi plasma dari anak kandungnya.

Cuplikan trailer resmi Don’t Die: The Man Who Wants to Live Forever dari Netflix. Film dokumenter ini mengupas perjalanan ekstrem Bryan Johnson dalam mengejar hidup lebih panjang lewat biohacking dan terapi canggih. Video: Youtube/ @Netflix
Dunia yang Terbelah, Inspirasi atau Narsisme?

Film garapan Chris Smith ini mendapat tanggapan beragam. Rotten Tomatoes mencatat skor kritik sekitar 75%, sementara penonton memberinya nilai lebih rendah.

Sebagian penonton menganggap Johnson sebagai pelopor biohacking yang berani. Ia mendobrak batas ilmu pengetahuan dengan menjadi kelinci percobaan atas dirinya sendiri. Namun, banyak pula yang menilainya sebagai cerminan narsisme berbalut kekayaan berlebihan.

Bryan Johnson memperlihatkan kantong plasma darah yang digunakan dalam terapi transfusi plasma. Prosedur ini menjadi bagian kontroversial dari eksperimen biohacking demi memperlambat penuaan. Foto: Instagram/ @bryanjohnson_.

Tak sedikit yang menudingnya sebagai bentuk eksistensialisme ekstrem: ketakutan menghadapi kematian diubah menjadi obsesi ilmiah. Apalagi saat dokumenter ini menunjukkan bagaimana Johnson mengatur hidupnya nyaris seperti ritual religius, serba terukur, minim spontanitas, dan dikendalikan oleh angka-angka kesehatan.

Dampak Psikologis dan Relasi Keluarga

Film ini juga menyentuh sisi pribadi sang tokoh. Hubungan dengan sang anak menjadi sorotan utama, terutama karena keterlibatan mereka dalam terapi plasma. Di satu sisi, ada keintiman antara ayah dan anak. Di sisi lain, muncul pertanyaan: apakah ini pilihan sukarela atau bentuk tekanan tak langsung?

Bryan Johnson (tengah) berpose bersama ayah dan putranya. Ketiganya terlibat dalam terapi transfusi plasma antargenerasi, salah satu eksperimen biohacking kontroversial dalam upaya memperlambat penuaan. Foto: Instagram/ @bryanjohnson_.

Bryan Johnson mengklaim, upayanya telah menurunkan usia biologisnya lima tahun lebih muda dari umur aslinya. Meski demikian, para ilmuwan masih memperdebatkan keabsahan klaim tersebut.

Menuju Era Biohacking Massal?

Don’t Die bukan sekadar dokumenter personal. Ini mencerminkan era baru di mana sains, teknologi, dan kekayaan bisa menciptakan jurang baru antara yang mampu dan yang tidak.

Di saat banyak orang berjuang untuk sekadar hidup sehat, sebagian kecil seperti Johnson melangkah lebih jauh: menantang kodrat manusia itu sendiri.

Apakah keabadian kini hanya masalah uang. Atau justru awal dari revolusi medis baru? ***

Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *