
RIO de Janeiro kembali jadi sorotan dunia. Tapi kali ini bukan karena pesta, festival, atau parade global yang biasa mengguncang kota itu. Melainkan tragedi berdarah yang menewaskan sedikitnya 64 orang, termasuk empat polisi, dalam operasi keamanan terbesar sepanjang sejarah Brasil modern.
Operasi itu terjadi Selasa (28/10) malam di kompleks favela Alemao dan Penha, wilayah padat penduduk yang kerap dikaitkan dengan jaringan narkotika. Tapi waktunya membuat dunia terperanjat, hanya beberapa hari sebelum Rio menjadi tuan rumah dua acara besar dunia, KTT C40 dan Earthshot Prize, yang menjadi bagian dari persiapan Brasil menuju Konferensi Iklim PBB (COP30) di Belem, Amazon, bulan November nanti.
Mengejar Aman, Melupakan Keadilan
Gubernur Rio, Claudio Castro, menyebut operasi itu sebagai perang melawan “narkoterorisme.” Ia menegaskan, 2.500 aparat dikerahkan untuk menumpas kelompok Comando Vermelho, geng besar yang dikenal brutal. Tapi di balik jargon keamanan, suara kritik langsung berdatangan.
Baca juga: COP30, Perjuangan Negara Berkembang untuk Keadilan Iklim
Aktivis dan kelompok HAM menilai, operasi semacam ini hanya mengulang pola lama: kekerasan untuk menutupi ketimpangan. Dalam publikasinya, Direktur Eksekutif lembaga Sou da Paz, Carolina Ricardo, menyebutnya “pendekatan yang gagal total” karena tak menyentuh akar persoalan kemiskinan dan perdagangan narkoba yang tumbuh di wilayah termiskin.

Foto: Frans van Heerden Pexels.
Asap membubung di langit Rio. Mobil dibakar, drone bersenjata beraksi, dan rentetan tembakan bergema di antara rumah-rumah reyot di lereng bukit. Ketika suara senjata mereda, puluhan pria bertelanjang dada digiring polisi. Di rumah sakit umum, keluarga korban menunggu dengan tangis, potret lama yang kembali terulang.
Baca juga: Revolusi Iklim dari Brasil, Kontribusi Global Tanpa Batas Negara
Ironi di Negeri “Hijau”
Tragedi ini terjadi justru ketika Brasil ingin tampil sebagai pemimpin dunia dalam isu perubahan iklim.
Presiden Luiz Inacio Lula da Silva tengah membangun citra “Brasil hijau”, negara dengan hutan Amazon yang kembali dijaga, dengan janji keadilan sosial sebagai fondasi. Tapi, peristiwa di Rio menunjukkan realitas lain. Hijau di panggung, merah di jalanan.
Baca juga: Prabowo–Lula Sepakat Selamatkan Hutan Dunia di COP30
Puluhan sekolah tutup, rute bus dialihkan, dan lalu lintas macet total. Kehidupan warga sipil lumpuh. Di media sosial, banyak warga menulis satu kalimat yang mencolok: “Kami takut di negeri yang katanya sedang bersiap menyelamatkan dunia.”
Tragedi Rio menjadi pengingat bahwa perubahan iklim bukan hanya soal suhu dan karbon. Climate change juga soal manusia, keadilan, dan pilihan moral di tengah ambisi global. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.