
BUMI tengah mengalami krisis air daratan yang mengkhawatirkan. Dari tahun 2000 hingga 2020, planet ini kehilangan lebih dari 1 triliun ton air dari penyimpanannya di daratan—baik dari tanah, danau, sungai, hingga air tanah. Fenomena ini bukan hanya angka. Ini adalah potret nyata dari gangguan besar terhadap keseimbangan hidrologi global.
Para ilmuwan dari Seoul National University yang meneliti fenomena ini menemukan bahwa kehilangan air tersebut berbanding lurus dengan naiknya suhu global. Artinya, krisis ini bukan disebabkan oleh kesalahan sistem semata, tetapi juga oleh jejak karbon manusia yang terus menumpuk di atmosfer.
Pengamatan dari Langit
Studi yang dimuat dalam jurnal Science (28 Maret 2025) itu menggunakan beragam pendekatan ilmiah mutakhir. Di antaranya adalah pengamatan gravitasi satelit, pengukuran kelembaban tanah via satelit, data kenaikan permukaan laut, hingga perubahan rotasi Bumi akibat redistribusi massa.
Baca juga: Perubahan Iklim Lenyapkan Es Abadi Papua, Indonesia Terancam
Hasilnya mencengangkan. Sekitar 1,3 triliun ton air terestrial hilang antara 2005–2015 saja. Jumlah itu cukup untuk menaikkan permukaan laut global sebesar 3,5 milimeter. Sebuah angka yang terlihat kecil di atas kertas, namun berdampak besar di dunia nyata—terutama bagi negara-negara kepulauan dan pesisir seperti Indonesia.
Dampak Nyata, dari Kekeringan hingga Kenaikan Laut
Penurunan kelembaban tanah menjadi salah satu aspek yang paling mengkhawatirkan. Pada awal abad ke-21, antara tahun 2000 dan 2002, satelit mencatat penurunan kelembaban tanah hingga 1,6 triliun ton. Bahkan, kontribusinya terhadap naiknya permukaan laut lebih besar daripada pencairan es Greenland dalam periode yang sama.
Baca juga: Kenaikan Air Laut Bisa Capai 1,9 Meter, Apa Dampaknya?
Panas ekstrem memperparah keadaan. Ketika suhu naik, penguapan dari tanah dan transpirasi dari tumbuhan meningkat. Air yang menguap lebih cepat tidak memiliki waktu untuk meresap kembali ke dalam tanah. Sebaliknya, ia menjadi limpasan permukaan yang mengalir ke laut, menghilang dari sistem penyimpanan air daratan.

“Area yang mengering terus meluas, mengalahkan area yang justru membaik,” ujar Katharine Jacobs, ilmuwan lingkungan dari University of Arizona. Indonesia, yang secara geografis rawan kekeringan musiman dan intrusi air laut, perlu bersiap menghadapi dampak ini secara langsung.
Air Tanah dan Bahaya Tak Terlihat
Tak hanya dari langit, ancaman datang pula dari dalam tanah. Peningkatan eksploitasi air tanah turut menyumbang hilangnya massa daratan yang berujung pada naiknya permukaan laut—bahkan memengaruhi kemiringan sumbu Bumi. Temuan ini menguak betapa pentingnya memahami sistem air secara menyeluruh, bukan hanya di permukaan.
Benjamin Cook, pemodel iklim dari NASA, menegaskan, “Semua orang membutuhkan air. Jika kita kehabisan air, kita akan menghadapi masalah serius.”
Baca juga: Krisis Air Global, Ancaman Mendesak yang Harus Diatasi
Sayangnya, kesadaran terhadap hubungan antara eksploitasi air tanah dan perubahan iklim belum tersebar luas di kalangan pengelola air di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Menuju Pengelolaan Air yang Adaptif
Apa yang harus dilakukan? Pertama, membenahi basis data dan integrasi pemantauan air secara nasional. Kedua, membatasi eksploitasi air tanah secara ketat. Ketiga, memperluas investasi pada infrastruktur penampungan air hujan dan peningkatan cadangan air tanah.
Pendidikan publik dan transparansi data juga penting. Ketika masyarakat memahami keterkaitan antara pemanasan global dan krisis air darat, maka dorongan untuk menjaga sumber daya air akan semakin kuat. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.