
Selama ini kita mengira teknologi penangkap karbon masih sebatas konsep futuristik. Ternyata dunia sudah melakukannya dalam skala besar selama hampir tiga dekade.
UNTUK pertama kalinya, komunitas ilmiah global merilis data terverifikasi tentang berapa banyak karbon dioksida (CO₂) yang benar-benar berhasil disimpan secara permanen di bawah tanah. Angkanya bikin terbelalak. Lebih dari 383 juta ton CO₂ telah “dikunci” sejak 1996.
Data ini datang dari konsorsium internasional yang diisi ilmuwan dan pelaku industri, termasuk Norwegian University of Science and Technology (NTNU) dan Imperial College London. Laporan ini menjadi rujukan baru tentang seberapa jauh dunia sebenarnya sudah bergerak dalam teknologi Carbon Capture and Storage (CCS).
Jumlah emisi yang sudah masuk ke perut bumi itu setara dengan 81 juta mobil bensin yang dikendarai selama satu tahun. Proyek-proyek penyimpanan CO₂ ini tersebar di Amerika Serikat, Tiongkok, Australia, Brasil, hingga Timur Tengah. Dan kabarnya, kapasitasnya bakal terus naik pada 2024–2025.
Teknologi yang diragukan, tapi diam-diam bekerja
Teknologi CCS sering jadi bahan perdebatan. Ada yang bilang teknologi ini jadi “tameng” industri fosil. Ada juga yang menilai hasilnya belum terbukti signifikan.
Baca juga: Jun Arima: Gas, Hidrogen, dan CCS Adalah Jalan Rasional Dekarbonisasi Asia Tenggara
Tetapi laporan terbaru ini membawa suasana baru.
“CCS berhasil. Kami mendokumentasikan bukti kapasitas industri menyimpan CO₂ secara aman di bawah tanah,” kata Direktur Register dan Pakar Penyimpanan Karbon dari Imperial College London, Prof. Samuel Krevor, dikutip dari Phys.org (17/11/2025).
Ia menambahkan, penyimpanan geologis CO₂ bukan lagi percobaan, melainkan operasi nyata yang sudah berjalan puluhan tahun.

Sementara itu, Prof. Philip Ringrose dari NTNU mengatakan kapasitas penyimpanan karbon global tumbuh rata-rata 17 persen per tahun sejak 1996. Tahun 2023 saja, dunia sudah menyimpan 45 juta ton CO₂.
Cara CO₂ itu disimpan
Prosesnya sederhana tapi teknologinya rumit. CO₂ hasil industri besar, seperti pabrik baja atau pembangkit listrik, ditangkap, dipisahkan, lalu dikompresi menjadi cairan superkritis. Setelah itu, gas tersebut dipompa lebih dari satu kilometer ke bawah tanah, menuju formasi bebatuan stabil seperti reservoir minyak dan gas yang sudah kosong.
Di sana, CO₂ terperangkap secara fisik maupun kimia, dan dalam beberapa kondisi bisa berubah menjadi mineral padat.
Baca juga: China Hadirkan FPSO Berteknologi Penangkap Karbon Perdana
Teknologi ini jadi kunci untuk sektor industri yang tidak bisa sepenuhnya memakai energi listrik terbarukan. Misalnya industri baja, semen, dan petrokimia—semuanya masih membutuhkan solusi untuk mengatasi emisi prosesnya.
Apa artinya untuk masa depan?
Badan-badan internasional seperti IPCC menyebut CCS sebagai salah satu teknologi penting untuk mencapai target net-zero. Tanpanya, upaya menurunkan emisi global akan jauh lebih sulit, bahkan mungkin mustahil.
Baca juga: CCS, Inovasi Canggih Atasi Krisis Karbon dan Wujudkan Indonesia Hijau
Dengan data baru ini, CCS masuk babak baru dari teknologi yang diragukan menjadi solusi yang punya rekam jejak jelas.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah CCS bekerja, tapi bagaimana mempercepat implementasinya di negara-negara yang punya potensi besar, termasuk Indonesia. ***