Energi Bersih, tapi Nggak Bebas Konflik

Deretan turbin angin di tengah lanskap terbuka. Meski jadi simbol energi bersih, proyek seperti ini kerap menuai gugatan dari komunitas lokal terkait pelanggaran hak asasi manusia. Foto: Ilustrasi/ Satvinder Ghotra/ Pexels.

ENERGI terbarukan sering dipromosikan sebagai masa depan yang lebih bersih. Tapi di balik proyek-proyek yang katanya “ramah lingkungan” itu, ternyata ada sisi gelap yang mulai disorot, yakni pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Sebuah laporan baru dari Business and Human Rights Resource Center (BHRRC) mengungkap hal ini. Sejak 2009, tercatat 95 gugatan hukum terhadap proyek energi terbarukan karena dianggap melanggar HAM. Dan yang bikin kaget, 77 persen dari gugatan itu baru muncul setelah 2018, saat dunia mulai ngebut mengejar target transisi energi.

Apa yang Jadi Masalah?

Mayoritas gugatan (71%) ditujukan ke perusahaan tambang yang menggali “mineral transisi”, kayak litium, nikel, dan kobalt. Mineral ini dibutuhkan buat bikin baterai kendaraan listrik dan teknologi hijau lainnya. Sisanya terkait proyek pembangkit angin, tenaga air, dan surya.

Baca juga: Transisi Energi Indonesia, Antara Ambisi Global dan Realita Lokal

Kebanyakan yang menggugat adalah masyarakat adat, komunitas lokal, sampai pekerja. Mereka nggak nolak perubahan, tapi mereka merasa nggak dilibatkan sejak awal. Bahkan banyak yang kehilangan tanah, sumber air, atau mata pencaharian.

“Konsultasi sih ada, tapi sekadar formalitas aja,” keluh salah satu komunitas dalam laporan itu.

Kok Bisa?
Karena dalam banyak kasus, perusahaan datang bawa teknologi dan investasi, tapi lupa satu hal penting, persetujuan masyarakat. Dalam 53% kasus, masyarakat bilang mereka nggak pernah diberi informasi yang cukup atau diminta izin dengan layak.
Padahal, hukum internasional udah jelas. Kalau proyek berdampak pada komunitas lokal, harus ada persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC).

Instalasi tenaga surya skala besar di wilayah kering. Proyek seperti ini sering dianggap solusi iklim, namun juga bisa memicu konflik sosial jika tidak melibatkan masyarakat lokal. Foto: Ilustrasi/ James Guetschow/ Pexels.

Transisi energi itu penting, semua sepakat. Tapi kalau caranya justru bikin masyarakat lokal makin terpinggirkan, bukankah itu kontradiktif?

Baca juga: Antara Ideal dan Biaya, Dilema Indonesia dalam Transisi Energi

Fakta lainnya, 70% dari kasus itu berkaitan dengan kerusakan lingkungan, seperti pencemaran air, perusakan wilayah adat, dan eksploitasi sumber daya alam tanpa kontrol.

Menurut Peneliti Senior BHRRC, Elodie Abe, perusahaan dan investor harus sadar bahwa proyek energi hijau tanpa pendekatan yang adil bakal jadi bom waktu. “HAM bukan hambatan buat kemajuan. Justru itu fondasinya,” ujarnya mengutip ESG Dive.

Gen Z Harus Tahu

Sebagai generasi yang peduli lingkungan, Gen Z juga harus peduli keadilan dalam transisi.
Mau teknologi canggih dan udara bersih? Oke. Tapi jangan sampai impian itu dibangun di atas penderitaan orang lain.

Baca juga: Transisi Energi Global: Maju di Sumber, Tertinggal di Emisi

Laporan lain bahkan menunjukkan bahwa tren gugatan hukum terhadap perusahaan energi, baik hijau maupun fosil, terus naik. Sejak Perjanjian Paris 2015, jumlahnya naik hampir tiga kali lipat. Ini bukti bahwa masyarakat makin sadar dan berani melawan ketidakadilan. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *