
PEMERINTAH mulai mengkaji skema impor Bahan Bakar Minyak (BBM) satu pintu melalui Pertamina. Kebijakan ini muncul setelah kelangkaan stok di sejumlah SPBU swasta, sekaligus menjadi momentum penting dalam arah tata kelola energi nasional.
Melalui mekanisme larangan terbatas dalam PP No. 29/2021, setiap impor BBM kini harus melalui rekomendasi Kementerian ESDM. Dengan posisi Pertamina sebagai poros distribusi, pemerintah menegaskan bahwa energi adalah komoditas strategis yang tidak bisa sepenuhnya tunduk pada pasar.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan, SPBU swasta tetap mendapat ruang impor, tetapi stok tambahan harus melalui Pertamina. Pemerintah bahkan menaikkan kuota impor swasta hingga 110% dibanding tahun 2024, untuk menjaga suplai tetap merata.
Konsekuensi bagi Swasta dan Pasar
Meski memberi kepastian pasokan, kebijakan ini dinilai menimbulkan asimetri dalam hubungan usaha. Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Migas, Moshe Rizal, menyebut mekanisme ini seperti “membeli pasokan dari kompetitor”. Pertamina yang berstatus BUMN otomatis memiliki kendali penuh atas harga dan distribusi, sebuah situasi yang bisa menekan daya saing SPBU swasta.
Baca juga: Tak Perlu BBM, Sulawesi hingga Timor Bisa Hidup dari Energi Alam
Lebih jauh, pengamat energi UGM, Fahmy Radhi, menilai kebijakan ini menandai pergeseran tata kelola sektor hilir dari liberalisasi kembali ke regulasi. SPBU swasta akan kehilangan fleksibilitas memilih sumber impor termurah. Margin yang menurun bisa berujung kerugian, bahkan menutup peluang usaha. Jika SPBU swasta hengkang, dampaknya bukan hanya pada iklim investasi migas, melainkan juga kepercayaan investor lintas sektor.

Stabilitas vs Efisiensi
Pemerintah berargumen tidak ada biaya tambahan dalam kerja sama Pertamina–swasta. Dirjen Migas Laode Sulaeman menegaskan skemanya business to business. Namun, pertanyaan besarnya, apakah kebijakan ini mendorong stabilitas pasokan atau justru mengikis efisiensi pasar?
Dalam jangka pendek, mekanisme satu pintu mungkin mampu menjaga stok dan harga tetap terkendali. Namun, dalam jangka panjang, konsolidasi pasokan di tangan Pertamina berpotensi menimbulkan monopoli de facto yang meredam inovasi dan mematikan persaingan sehat. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.