
DI JEPANG, ada satu fenomena sosial yang jarang dibahas publik tetapi terjadi hampir setiap tahun, jouhatsu, istilah untuk orang yang menghilang dari kehidupannya sendiri. Mereka pergi tanpa pesan. Tanpa jejak. Tanpa niat untuk ditemukan.
Buat banyak Gen Z Indonesia, ini terdengar seperti plot film thriller. Tapi di Jepang, jouhatsu adalah bagian dari kenyataan yang tumbuh dari tekanan sosial, budaya malu, dan sistem kerja yang sangat kompetitif.
Budaya Malu yang Menelan Banyak Orang
Jouhatsu lahir dari satu inti budaya, malu.
Di Jepang, kegagalan sering dianggap aib. Gagal kuliah. Hilang pekerjaan. Terlilit utang. Punya skandal keluarga. Atau merasa tak mampu memenuhi ekspektasi sosial. Semua itu bisa berubah menjadi beban yang mendorong orang untuk lenyap.
Baca juga: Jepang Lagi Hits, Turis Indonesia Ikutan Meroket
Statista mencatat, sekitar 80 ribu orang dilaporkan hilang di Jepang pada 2021. Angka yang tak kecil untuk negara dengan sistem sosial dan keamanan yang super tertata.
Menghilang Demi Identitas Baru
Mereka yang memilih menjadi jouhatsu biasanya tidak ingin dilacak keluarga, teman, atau negara. Bukan sekadar kabur, mereka benar-benar ingin memutus identitas.
Sosiolog Hiroki Nakamori mengatakan bahwa di Jepang, privasi dihargai setinggi itu. Bahkan orang hilang masih bisa mengambil uang tunai dari ATM tanpa alarm negara. Polisi tak akan turun tangan kecuali ada unsur kriminal.
Satu-satunya cara keluarga mencari mereka?
Menyewa detektif. Itu pun tak menjamin apa pun.
Kamagasaki, Kota Bayangan yang Jadi Rumah Baru
Orang-orang hilang ini biasanya muncul di lokasi-lokasi urban yang tak banyak tersorot. Salah satunya Kamagasaki di Osaka, daerah kumuh yang juga dikenal sebagai Airin Chiku. Tempat ini seperti kota dalam kota, penuh hotel murah, pekerja harian, dan identitas baru.
Tarif penginapan bisa serendah USD 15 per malam. Setiap pagi, orang-orang berdiri di jalan menunggu pekerjaan sambilan. Banyak dari mereka mengubah nama untuk menjaga anonimitas.
Guardian pernah memperkirakan 25 ribu orang hidup di kawasan itu. Tokyo punya versi serupa bernama Sanya.
Keduanya sering disebut kota bayangan Jepang, tempat orang-orang yang ingin hilang dari hidup lama membangun hidup baru.

Cerita Tanaka, “Bagiku, kamu sudah mati”
Masashi Tanaka, 49 tahun, adalah salah satu dari mereka. Ia memilih menghilang setelah dibebaskan dari penjara karena kasus narkoba. Ibunya menolak keberadaannya.
“Bagiku, kamu sudah mati.”
Baca juga: Jepang, Teknologi Tinggi dan Alam yang Tetap Menundukkan Diri
Kalimat itu cukup untuk membuat Tanaka memutus segalanya. Ia pergi ke Kamagasaki dan tinggal sendirian. Tanpa keluarga. Tanpa masa lalu. Kisah seperti Tanaka bukan pengecualian.
Kodama, 35 Tahun Tanpa Pulang
Kodama kabur pada usia 27 tahun. Dipecat dari pekerjaan, tak punya arah, dan hanya membawa uang untuk tiket kereta.
Ia berjalan begitu saja ke Osaka, bekerja serabutan, dan memutus kontak dengan keluarga selama lebih dari 35 tahun. “Kalau saya pulang, akan canggung buat semua orang. Jadi saya pergi saja dan hidup sendiri,” ungkapnya.
Baca juga: Ketika Jepang Berjuang Melawan Tren Penurunan Kelahiran
Ia menambahkan sesuatu yang mengiris hati, “Saya muak dengan dunia ini. Tapi saya tidak punya keberanian untuk mati.”
Ketika Menghilang Jadi Pilihan Bertahan Hidup
Bagi sebagian orang Jepang, jouhatsu bukan pelarian dramatis. Ini mekanisme bertahan hidup. Cara mereset hidup tanpa tekanan keluarga atau stigma sosial.
Fenomena ini membuka dua realitas Jepang:
- Sistem sosial yang sangat menghargai privasi,
- Tapi juga budaya malu yang bisa menghancurkan mental.
Buat Gen Z di mana pun, jouhatsu jadi cermin tentang betapa beratnya ekspektasi bisa mendorong seseorang memilih “hilang” daripada meminta bantuan. ***