
SAAT dunia semakin merasakan dampak perubahan iklim, sorotan terhadap aliran dana investasi yang merusak alam semakin mendesak. Konferensi Perubahan Iklim (COP29) yang akan berlangsung di Baku, Azerbaijan, harus menjadikan isu ini sebagai salah satu agenda utama.
Dana yang mengalir untuk proyek-proyek yang merusak lingkungan, seperti industri bahan bakar fosil, infrastruktur berat, dan bahkan peralatan militer, jauh melampaui pendanaan untuk solusi berbasis alam.
Ketimpangan Dana Proyek Alam dan Proyek Perusak Lingkungan
Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Tory Kuswardono, mengungkapkan bahwa laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) pada 2003 menunjukkan ketimpangan besar. Investasi untuk proyek berbasis alam atau Nature-based Solutions (NbS) hanya mencapai sekitar US$ 200 juta. Sementara proyek yang berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti pembangkit fosil, mencapai US$ 7 triliun.
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa meskipun penting untuk menghadapi perubahan iklim, dunia masih lebih banyak membiayai proyek yang justru memperparah krisis lingkungan.
“Ini masalah serius yang seharusnya menjadi fokus di COP29. Proyek yang merusak keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup harus ditinjau kembali. Dunia tidak bisa terus membiayai kehancuran sambil berharap mengatasi krisis iklim,” tegas Tory.
Meningkatnya Kebutuhan Dana Iklim hingga 2030
Tory menambahkan, kebutuhan dana iklim global hingga 2030 terus meningkat, dengan estimasi terbaru mencapai US$ 8 triliun per tahun. Dana ini tidak hanya untuk mitigasi dan adaptasi iklim, tetapi juga untuk menangani loss and damage—kerusakan yang timbul akibat bencana iklim.
Dengan kebutuhan dana yang sangat besar ini, jelas bahwa memerlukan struktur pendanaan yang lebih tepat sasaran dan efektif.
Baca juga: Ini Misi Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, menyoroti pentingnya pengalokasian dana yang seimbang. Saat ini, investasi iklim sering kali berfokus pada mitigasi, sementara pendanaan untuk adaptasi, yang membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan dampak iklim yang sudah terjadi, masih kurang.
“Pendanaan adaptasi seharusnya tidak dalam bentuk utang. Beban biaya adaptasi harus lebih tangguh bagi negara-negara yang rentan,” kata Nadia.
Reformasi Sistem Pendanaan Global
Pendanaan iklim global perlu reformasi menyeluruh agar lebih adil dan efektif. Nadia menekankan pentingnya perubahan dalam arsitektur pendanaan global untuk memastikan bahwa dana yang ada penyalurannya bisa secara tepat guna. Terutama bagi negara berkembang yang lebih rentan terhadap dampak iklim.
Baca juga: Biaya Polusi Udara Jakarta: Rp52 Triliun per Tahun
Kriteria pembiayaan untuk kategori loss and damage serta perlindungan alam masih belum tegas, dan perlu ada kepastian mengenai tanggung jawab setiap pihak dalam menanggung biaya ini.
Peluang Indonesia di Blok BRICS
Eka Melisa, Direktur Perubahan Iklim dari Kemitraan, menambahkan perspektif lain, mengingatkan bahwa Indonesia dapat memanfaatkan peluang dari blok BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan). Pemerintah Indonesia yang telah menyatakan ketertarikan untuk bergabung dengan BRICS dapat menggunakan aliansi ini untuk memperkuat posisi dalam upaya pendanaan iklim.
Baca juga: Menuju Keberlanjutan, Indonesia Percepat Kebijakan Emisi Karbon
“Konstelasi pendanaan global saat ini didominasi negara Barat, dan dengan bergabung ke BRICS, Indonesia bisa mengakses jaringan ekonomi yang lebih luas, khususnya untuk mendanai proyek iklim dan keberlanjutan,” jelasnya.
Melangkah Menuju COP29 dengan Agenda Baru
Dengan potret ketimpangan yang begitu besar antara pendanaan untuk proyek perusak lingkungan dan pendanaan untuk solusi berbasis alam, COP29 di Baku harapannya bisa menjadi momentum bagi negara-negara untuk mereformasi sistem pendanaan iklim global.
Baca juga: Negara-negara Penjaga Oksigen Bumi
Dana yang benar-benar berpihak pada keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas utama, dan pembahasan mengenai mekanisme pendanaan yang lebih transparan dan adil akan sangat relevan bagi para pemangku kepentingan di seluruh dunia. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.