Kontroversi Rencana Wisata di ‘Pulau Komodo’, Investasi atau Invasi?

Dua ekor komodo di tepi pantai Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Rencana pembangunan ratusan vila wisata di Pulau Padar memicu kekhawatiran akan terganggunya habitat dan perilaku alami satwa purba ini. Foto: Jeffry SS/ Pexels.

PULAU Padar di Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menjadi pusat kontroversi. Rencana pembangunan fasilitas wisata oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) menuai penolakan dari aktivis lingkungan dan warganet. Mereka khawatir pembangunan 448 vila dan fasilitas pendukung seperti restoran, spa, dan kapel akan mengancam habitat asli komodo.

Meski Kementerian Kehutanan menyatakan pembangunan belum dimulai, suara publik tetap bergema. Gerakan #SavePulauPadar terus meluas di media sosial. Seruan utama, batalkan proyek dan lindungi komodo.

Penolakan ini bukan tanpa dasar. Kajian Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) menunjukkan bahwa sejumlah titik pembangunan berada di kawasan komodo mencari makan. Jika pembangunan terus berjalan tanpa perlindungan memadai, maka yang terancam bukan hanya lanskap eksotik Pulau Padar tapi juga kelangsungan hidup spesies purba yang jadi ikon Indonesia.

Habitat Komodo Terancam

Dalam konsultasi publik yang digelar 23 Juli 2025 di Labuan Bajo, NTT, terungkap sejumlah temuan krusial. Lokasi rencana pembangunan berada di lembah dan bukit yang menjadi jalur jelajah serta tempat makan komodo. Aktivitas manusia dan limbah dapur dari vila dan restoran dikhawatirkan mengganggu perilaku alami komodo, bahkan mendorong perubahan pola makan liar menjadi kebiasaan mencari sisa makanan manusia.

Baca juga: Siapa Berhak atas Pantai Labuan Bajo?

Tim ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menyusun dokumen EIA merekomendasikan sejumlah mitigasi. Antara lain: desain bangunan model panggung (elevated), sistem pembuangan limbah tertutup, serta protokol interaksi manusia-satwa. Namun, publik bertanya apakah mitigasi cukup jika lanskap alaminya sudah diubah?

Pulau Padar, Nusa Tenggara Timur, salah satu kawasan konservasi di Taman Nasional Komodo yang kini jadi sorotan publik akibat rencana pembangunan 448 vila wisata di zona habitat komodo. Foto: Rizk Nas/ Pexels
Pemerintah Tahan Rem

Kmenhut menegaskan belum ada pembangunan dimulai dan belum ada izin yang disetujui. Proses masih dalam tahap konsultasi publik dan evaluasi dokumen Environmental Impact Assessment (EIA). Pemerintah juga menunggu penilaian dari World Heritage Center (WHC) dan International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Proyek ini memang berada di zona pemanfaatan, sesuai UU No. 5/1990 jo UU No. 32/2024. PT KWE memegang izin usaha sarana wisata sejak 2014. Namun izin usaha bukan lampu hijau otomatis untuk membangun.

“Pemerintah tidak akan menyetujui pembangunan apa pun sebelum seluruh rekomendasi EIA terpenuhi dan tidak ada risiko terhadap nilai luar biasa universal (OUV) situs warisan dunia,” tegas Kemenhut dalam pernyataan resminya.

Dilema Pembangunan Hijau

Indonesia kini berada di titik kritis. Di satu sisi, ada dorongan kuat untuk menggenjot ekonomi lewat sektor pariwisata berkelas dunia. Di sisi lain, ada tanggung jawab besar untuk menjaga warisan ekologis yang tak tergantikan.

Baca juga: Krisis Iklim, Tiga Situs Bersejarah Indonesia Terancam Hilang

Pulau Padar sebagai bagian dari Taman Nasional Komodo adalah warisan dunia. Langkah pemerintah menahan proses dan menunggu evaluasi internasional adalah sinyal positif. Namun, kepercayaan publik hanya akan tumbuh jika pemerintah konsisten, transparan, partisipatif, dan berpihak pada konservasi.

Pembangunan wisata bisa menjadi berkah jika mengutamakan ilmu pengetahuan, prinsip konservasi, dan perlindungan satwa liar. Jika tidak, sejarah akan mencatatnya sebagai awal dari hilangnya spesies ikonik yang hanya ada di negeri ini. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *