Mengapa Warga Jakarta Perlu Beralih ke Transportasi Publik?

Kemacetan panjang di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta Pusat setiap sore memperlihatkan tingginya jumlah kendaraan pribadi yang disebut berkontribusi pada polusi udara kota. Foto: Hamdani S Rukiah/ MulaMula.

JAKARTA, sebagai salah satu kota terpadat di dunia, menghadapi tantangan besar dalam hal mobilitas. Sistem transportasi publik yang ada telah menjadi tulang punggung bagi kehidupan sehari-hari jutaan warganya. Namun, masih banyak orang yang lebih memilih menggunakan transportasi pribadi, seperti mobil atau sepeda motor, sebagai pilihan utama mereka.

Tantangan terbesar yang dihadapi oleh Jakarta adalah masalah polusi udara yang semakin meningkat. Polusi udara di Jakarta telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, dengan dampak buruk terhadap kesehatan penduduk dan lingkungan. Salah satu penyebab utama polusi udara adalah emisi kendaraan bermotor, yang sebagian besar berasal dari kendaraan pribadi.

Ini Penyumbang Polusi Versi KLHK

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan, penyebab polusi udara di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) antara lain karena asap kendaraan bermotor dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Selain itu, ada kontribusi dari asap rumah tangga dan pembakaran.

“Jadi dikonfirmasi kembali bahwa angka-angka yang dilihat sebagai sumber pencemaran atau pun penurunan kualitas udara Jabodetabek yaitu 44 persen kendaraan, 34 persen PLTU, dan sisanya adalah lain-lain, termasuk dari rumah tangga, pembakaran dan lain-lain,” ujar Siti usai mengikuti rapat terbatas (ratas) polusi udara yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (28/8/2023) lalu.

Kendaraan Bermotor Terus Meningkat

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Tercatat, jumlah kendaraan bermotor di Ibu Kota mencapai 26,37 juta unit pada 2022, meningkat 4,39% dari tahun sebelumnya yang sebanyak 25,26 juta unit. Pada 2020, jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta ada sebanyak 24,26 juta unit, naik dari 2019 yang sebanyak 23,86 juta unit dan dari 2018 yang sebanyak 22,49 juta unit.

Berdasarkan jenisnya, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta pada 2022 paling banyak berupa sepeda motor, sebanyak 17,3 juta unit atau setara 65,6% dari total kendaraan bermotor di kota tersebut. Kemudian, ada sebanyak 3,76 juta mobil penumpang, 748,39 ribu unit truk, dan 37,18 ribu unit bus di DKI Jakarta pada 2022.

Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di ibu kota mengindikasikan adanya penguatan industri otomotif dan daya beli masyarakat. Namun, pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor berdampak pada tingginya polusi udara dan tingkat kemacetan ibu kota.

Maka dari itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk menangani pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta.

Kemacetan mengakibatkan Rp 65 triliun ‘terbakar’ percuma di jalan Jakarta setiap tahun. Foto: Hamdani S Rukiah/ MulaMula.

Ayo Beralih ke Trans;portasi Publik

Oleh karena itu, penting bagi kita semua, terutama Generasi Z, untuk mulai memikirkan kembali pilihan transportasi kita. Beralih dari transportasi pribadi ke transportasi publik bukan hanya akan membantu mengurangi kemacetan lalu lintas, tetapi juga akan berkontribusi dalam menurunkan tingkat polusi udara di Jakarta.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, lebih dari 70% dari polusi udara di Jakarta disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor. Gas buang yang dihasilkan oleh mobil mengandung berbagai zat berbahaya seperti karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), dan partikel-partikel halus yang dapat menyebabkan masalah kesehatan serius bagi penduduk Jakarta.

Selain masalah kesehatan, kemacetan lalu lintas juga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi masyarakat Jakarta. Setiap harinya, ribuan liter bensin atau bahan bakar mobil terbuang percuma akibat kemacetan yang tak kunjung ada solusi.

Enam Puluh Lima Triliun ‘Terbakar’ di Jalan Setiap Tahun

Menurut pernyataan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang bersandar pada data World Bank di tahun 2019, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta mencapai lebih dari 65 triliun rupiah per tahun. Kerugian ini meliputi biaya bahan bakar yang terbuang, biaya operasional kendaraan, dan penurunan produktivitas ekonomi.

Transportasi publik di Jakarta, seperti TransJakarta, KRL Commuterline, dan MRT Jakarta, telah mengalami perkembangan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Mereka menawarkan alternatif yang efisien, ramah lingkungan, dan terjangkau bagi warga Jakarta.

Selain itu, mulai 1 Juni 2024, LRT Jabodebek juga mengoperasikan 336 perjalanan setiap hari kerja (weekday), dengan waktu tunggu antar kereta LRT Jabodebek 5,5 menit pada jam sibuk (peak hour) di lintas Cawang – Dukuh Atas, dan 11 menit di lintas Jati Mulya – Cawang serta Harjamukti – Cawang. Pada akhir pekan (weekend) dan hari libur nasional, jumlah perjalanan yang dioperasikan menjadi 260 perjalanan. Kebijakan ini diambil setelah melihat tingginya minat masyarakat terhadap layanan LRT Jabodebek.

Baca juga: LRT Jabodebek Operasikan 336 Perjalanan Harian Mulai Juni 2024

Oleh karena itu, mari bersama-sama mengubah paradigma kita tentang transportasi. Mari tinggalkan kebiasaan menggunakan transportasi pribadi secara berlebihan dan mulai memanfaatkan transportasi publik. Mari berkontribusi dalam menjaga kebersihan udara Jakarta dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat untuk kita semua.

Kita memiliki kesempatan untuk membuat perubahan positif, dan itu dimulai dari keputusan sederhana untuk beralih ke transportasi publik. Mari menjadi bagian dari solusi untuk mengatasi masalah polusi udara di Jakarta dan meningkatkan kualitas hidup kita semua. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *