
HUTAN sering dipandang sebagai penyelamat Bumi, sebuah mekanisme alami untuk menyerap karbon dioksida dan menjaga keseimbangan ekosistem. Namun, studi terbaru dari Universitas Michigan (UM) memunculkan pertanyaan baru: apakah tanah hutan tetap dapat diandalkan dalam menghadapi perubahan iklim?
Penelitian yang dipimpin oleh Direktur Institut Biologi Perubahan Global UM, Peter Reich, menunjukkan bahwa tanah justru melepaskan lebih banyak karbon ke atmosfer ketika suhu Bumi meningkat. Temuan ini dipublikasikan di Nature Geoscience oleh Guopeng Liang dan timnya, memberikan gambaran kompleks tentang bagaimana pemanasan global memengaruhi sistem ekologis secara mendalam.
Eksperimen di Tanah Hutan Minnesota
Studi ini dilakukan di 72 titik eksperimen di dua lokasi berbeda di Minnesota Utara. Dalam uji coba pertama, suhu tanah dinaikkan sebesar 1,7 derajat Celsius. Pada percobaan kedua, suhu meningkat hingga 3,3 derajat Celsius.
Baca juga: Krisis Iklim, 2024 Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah
Hasilnya? Respirasi tanah—proses pelepasan karbon dioksida dari tanah—mengalami lonjakan signifikan. Pada suhu yang lebih rendah, pelepasan karbon meningkat 7%. Pada suhu yang lebih tinggi, angkanya melonjak hingga 17%.
“Ini bukan kabar baik,” ujar Reich seraya menambahkan, “Seiring meningkatnya suhu Bumi, tanah akan kehilangan lebih banyak karbonnya ke atmosfer.”
Dari Mana Karbon Itu Berasal?
Sebagian besar karbon yang dilepaskan tanah berasal dari metabolisme akar tanaman. Namun, ada faktor lain yang berperan besar, yakni aktivitas mikroba tanah. Mikroba ini, seperti halnya manusia, menghasilkan karbon dioksida saat mereka “mencerna” bahan organik seperti gula, pati, dan sisa-sisa tumbuhan yang membusuk.
Baca juga: Banjir di Gurun Sahara, Fenomena Langka yang Kejutkan Dunia
“Mikroba bekerja seperti kita. Mereka menghirup oksigen dan menghembuskan karbon dioksida ke udara melalui proses metabolisme yang sama,” jelas Reich.
Dampak Besar bagi Kehidupan
Lonjakan pelepasan karbon dari tanah tidak hanya memperburuk pemanasan global, tetapi juga menciptakan siklus negatif. Semakin banyak karbon yang dilepaskan, semakin tinggi suhu Bumi. Akibatnya, pelepasan karbon dari tanah bisa terus meningkat, memperparah kondisi iklim.
Baca juga: Ketika Es Antartika Mencair, Badai Laut Datang Lebih Sering
Dalam jangka panjang, efek ini bisa memengaruhi kemampuan hutan sebagai penyerap karbon alami. Bahkan, karbon yang tersimpan selama ribuan tahun di lapisan tanah bisa terlepas, berkontribusi pada emisi global.
Ada Harapan, Peran Kelembapan Tanah
Meski begitu, studi ini tidak sepenuhnya pesimistis. Reich mencatat bahwa kadar kelembapan tanah memainkan peran penting dalam menentukan seberapa banyak karbon yang dilepaskan. “Jika kita dapat menjaga kelembapan tanah, kita mungkin bisa mengurangi pelepasan karbon,” katanya.
Upaya ini bisa melibatkan pengelolaan hutan yang lebih baik, termasuk strategi seperti reforestasi, pengurangan deforestasi, dan penerapan teknik agroforestri yang ramah iklim. Selain itu, memahami pola aktivitas mikroba juga bisa membuka peluang baru dalam pengelolaan ekosistem. Teknologi biologi, seperti rekayasa mikroba, berpotensi membantu menjaga keseimbangan karbon di tanah.

Apa yang Bisa Dilakukan?
Bagi Indonesia, negara dengan kekayaan hutan tropis yang luar biasa, hasil penelitian ini menjadi pengingat penting. Pengelolaan hutan yang berkelanjutan perlu menjadi prioritas utama. Program restorasi lahan gambut, perlindungan hutan primer, dan penanaman kembali hutan yang telah ditebang adalah langkah-langkah strategis yang harus dioptimalkan.
Baca juga: Negosiasi Iklim 2024 Masih Jalan di Tempat
Lebih dari itu, kolaborasi antara pemerintah, komunitas lokal, dan ilmuwan sangat diperlukan untuk mengembangkan pendekatan berbasis bukti. Pendekatan ini bisa menjadi panduan dalam menjaga hutan Indonesia tetap menjadi “paru-paru dunia” di tengah krisis iklim global. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.