
ASAP hitam dari cerobong PLTU tak hanya menggerakkan turbin, tapi juga mengantarkan bahaya. Riset terbaru dari CREA, Celios, dan Trend Asia mengungkap, pengoperasian 20 PLTU batu bara di Indonesia telah menyebabkan 156 ribu kematian dini dan kerugian ekonomi mencapai Rp1.813 kuadriliun.
Harga listrik mungkin terlihat murah. Tapi biaya yang sebenarnya dibayar jauh lebih mahal, dalam bentuk napas, kesehatan, dan masa depan yang perlahan hilang.
Polusi yang Tak Kenal Batas
Analis dari CREA, Katherine Hasan, menjelaskan bahwa polusi lintas batas dari PLTU di sekitar Jakarta ikut memperparah lonjakan kasus ISPA di 2025.
“Cemaran dari PLTU tak hanya memicu ISPA, tapi juga kelahiran prematur, berat badan rendah pada bayi, hingga risiko stroke dan asma pada anak,” ujarnya.
Baca juga: PLTU vs Energi Bersih, Dilema Indonesia dalam Paris Agreement
Artinya, tiap kilowatt listrik yang dihasilkan dari batu bara membawa beban tak kasat mata—udara yang kian sesak dan generasi yang tumbuh dalam lingkungan tak sehat.
Kerugian Tak Terlihat
Riset itu juga menunjukkan, jika 20 PLTU paling berbahaya tetap beroperasi, kerugian ekonomi negara bisa mencapai Rp52,4 triliun per tahun.

Tak hanya itu, pendapatan masyarakat secara agregat akan berkurang Rp48,4 triliun akibat menurunnya produktivitas dan rusaknya lahan produktif.
Baca juga: Antara Ideal dan Biaya, Dilema Indonesia dalam Transisi Energi
“Ini bukan hanya tentang angka di laporan ekonomi, tapi tentang kualitas hidup yang turun drastis,” kata Katherine.
Ironi Janji Lapangan Kerja
Peneliti Celios, Atina Rizqiana, menilai operasi PLTU justru kontradiktif dengan janji pemerintahan Prabowo–Gibran yang bertekad membuka 19 juta lapangan kerja baru.
“Faktanya, 1,45 juta tenaga kerja bisa hilang akibat rusaknya sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan,” ujarnya.
Ia menambahkan, pensiun dini PLTU justru bisa menghemat kerugian negara dan membuka peluang kerja baru di sektor energi bersih. Mulai dari tenaga surya hingga proyek efisiensi energi.
Bukan Sekadar Angka
Menurut Novita Indri Pratiwi dari Trend Asia, dampak PLTU bukan teori di atas kertas.
“Setiap angka kematian dini itu mewakili manusia nyata. Warga yang kehilangan napas karena kebijakan yang menunda perubahan,” katanya.
Baca juga: PLTU Tutup Dini, Selamatkan Nyawa dan Ekonomi
Ia menilai pemerintah dan negara pemberi modal harus berhenti menunda transisi energi dengan “solusi palsu” seperti memperpanjang masa operasi PLTU atau proyek penangkap karbon yang tidak efektif. Yang dibutuhkan adalah transisi energi yang adil, berkeadilan, dan berpihak pada manusia. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.