
SUARA palu hakim menggelegar di ruang sidang Pengadilan Distrik Shizuoka, Jepang, menandai akhir dari perjalanan panjang penuh ketidakadilan. Iwao Hakamada, pria berusia 89 tahun, akhirnya dinyatakan tidak bersalah setelah menghabiskan hampir lima dekade di dalam jeruji besi sebagai terpidana mati.
Keputusan itu disertai dengan kompensasi sebesar 217 juta yen atau sekitar Rp 23,2 miliar. Namun, pertanyaannya: cukupkah uang mengganti separuh hidup yang hilang?
Kisah Tragis Seorang Mantan Petinju
Pada 1966, Hakamada dituduh membunuh empat anggota keluarga majikannya di Prefektur Shizuoka. Tanpa bukti yang cukup dan di bawah tekanan interogasi brutal, ia dipaksa mengaku. Pengadilan menjatuhkan vonis mati pada 1968. Sejak saat itu, hidupnya tak lagi sama.
Setiap hari di penjara, Hakamada harus menghadapi ketidakpastian: apakah hari itu akan menjadi hari terakhirnya? Sistem peradilan Jepang yang tertutup membuat peluang bandingnya kecil, dan ia menjalani kehidupan yang seakan menggantung di ujung tanduk.
Terungkapnya Kesalahan Hukum
Harapan muncul pada 2014 ketika pengadilan menemukan bahwa bukti yang digunakan dalam persidangan telah direkayasa. Hakamada dibebaskan sementara, tetapi status hukumnya tetap tidak pasti. Butuh hampir satu dekade lagi sebelum keputusan final pada 2024 akhirnya menyatakan dirinya benar-benar tidak bersalah.
Baca juga: Terpidana Mati Akhirnya Bebas Setelah 46 Tahun Dipenjara
Namun, kebebasan itu datang dengan harga mahal. Hakamada kehilangan sebagian besar hidupnya di balik jeruji. Ia tak bisa mengejar kariernya sebagai petinju, membangun keluarga, atau menikmati kehidupan yang seharusnya ia miliki. Lebih dari itu, kesehatan mentalnya telah terganggu akibat ketakutan terus-menerus akan eksekusi yang tak kunjung tiba.
Kompensasi Besar, tapi Tak Setara
Sebagai bentuk tanggung jawab, pengadilan memerintahkan negara untuk memberikan kompensasi. Dengan perhitungan sekitar 12.500 yen (Rp 1,3 juta) per hari selama 47 tahun, jumlah tersebut menjadi yang terbesar dalam sejarah hukum Jepang.
Namun, tim kuasa hukum Hakamada menilai angka tersebut tetap tak cukup untuk mengganti derita yang dialami klien mereka. “Hakamada hidup dalam dunia fantasi,” ujar pengacaranya, menggambarkan betapa parah dampak psikologis yang dialaminya akibat bertahun-tahun di penjara tanpa kepastian hukum.
Pelajaran bagi Sistem Peradilan Jepang
Kasus Hakamada menjadi cerminan suram dari sistem peradilan Jepang yang masih mempertahankan praktik interogasi keras dan minimnya peluang bagi terpidana untuk mengajukan banding. Ini adalah kasus kelima dalam sejarah pascaperang Jepang di mana terpidana mati akhirnya dibebaskan setelah sidang ulang. Empat kasus sebelumnya juga berujung pada putusan tidak bersalah.
Baca juga: Apa Arti Hukuman Mati Jika Tak Bisa Dieksekusi?
Dengan kasus ini, muncul desakan untuk mereformasi sistem hukum, terutama dalam hal interogasi dan peninjauan kembali putusan vonis. Kesalahan seperti ini bukan hanya mencederai individu, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap sistem keadilan.
Keadilan yang Tertunda
Bagi Hakamada, kebebasan ini mungkin terasa pahit. Ia mendapatkan kembali hidupnya, tetapi dalam kondisi fisik dan mental yang tak lagi sama. Kompensasi sebesar Rp 23,2 miliar mungkin terlihat besar di atas kertas, tetapi bisakah uang benar-benar menggantikan puluhan tahun yang telah terenggut?
Kasus ini menjadi pengingat bahwa keadilan yang datang terlambat sering kali terasa seperti ketidakadilan lainnya. Dan bagi Hakamada, dunia yang ia kenal telah berubah terlalu jauh dari saat ia pertama kali dipenjara. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.