
BARU dua bulan menyandang gelar doktor hukum dengan disertasi soal korupsi, Djuyamto justru tersandung kasus korupsi itu sendiri. Publik terhenyak. Disertasinya sempat dipuji sebagai terobosan hukum progresif. Kini, ia masuk daftar tersangka penerima suap.
Penangkapan Djuyamto diumumkan Kejaksaan Agung pada Senin dini hari, 14 April 2025. Ia tidak sendiri. Dua rekannya sesama hakim, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom, juga ditetapkan sebagai tersangka. Ketiganya adalah majelis hakim dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) periode 2021–2022 di PN Jakarta Pusat.
Kasus yang mereka tangani bukan sembarangan. Tiga korporasi raksasa—Wilmar, Permata Hijau, dan Musim Mas—dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum. Vonis mereka: ontslag van alle rechtvervolging. Lepas murni, seolah tak pernah melakukan kejahatan.
Namun di balik vonis itu, ada dugaan permainan uang. Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, ketiga hakim diduga menerima suap dalam bentuk dolar AS. Dana itu mengalir demi “mengamankan” putusan sesuai skenario.
Baca juga: Skandal Suap CPO, Tiga Hakim Terjerat Jebakan Vonis Lepas
“Penerimaan uang ini tidak lepas dari peran beberapa pihak yang telah lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka,” kata Qohar dalam konferensi pers.
Disertasi yang Menjadi Bumerang
Hanya dua bulan lalu, tepatnya 31 Januari 2025, Djuyamto menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Sebelas Maret (UNS). Disertasinya berjudul Model Pengaturan Penetapan Tersangka oleh Hakim pada Tindak Pidana Korupsi Berbasis Hukum Responsif. Sebuah terobosan yang memicu perdebatan.
Gagasan sentralnya: hakim dapat menetapkan seorang saksi sebagai tersangka baru jika ditemukan fakta hukum kuat dalam persidangan. Menurut Djuyamto, hal ini penting untuk menutup celah kejahatan korupsi yang sering melibatkan banyak pihak.
“Saya tergugah karena nurani hakim saya terusik,” katanya saat sidang promosi doktor di hadapan para guru besar Fakultas Hukum UNS.
Ironis. Disertasi yang ia klaim lahir dari keresahan terhadap praktik korupsi kini justru berbanding terbalik dengan kenyataan yang dihadapinya. Bukannya menetapkan saksi sebagai tersangka, Djuyamto kini menjadi tersangka itu sendiri.
Baca juga: Suap Ekspor CPO, Ketua PN Jaksel Terjerat Gratifikasi Rp 60 Miliar
Tak hanya itu. Pada Maret 2025, Djuyamto juga menerima penghargaan “Alumni Berprestasi 2025” dari UNS, sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi dan kontribusinya di dunia hukum, baik nasional maupun internasional. Ia menjadi satu dari 16 alumni terpilih, berdampingan dengan tokoh-tokoh seperti Menteri Perdagangan Budi Santoso dan Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono.
Baca juga: Kejagung Sita Mobil Mewah Terkait Kasus Suap Ekspor CPO
Penghargaan itu kini terasa seperti potret kegagalan membaca integritas. Simbol prestasi akademik berubah menjadi pengingat getir: reputasi tak selalu sejalan dengan kenyataan.
Krisis Integritas di Dunia Peradilan
Penetapan tersangka atas tiga hakim ini memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Mereka yang seharusnya menjaga marwah hukum, justru bermain dalam gelapnya transaksi ilegal.
Publik kecewa. Apalagi, Djuyamto sempat dielu-elukan di forum akademik sebagai calon hakim agung masa depan. Namun realitas bicara lain: gelar doktor dan reputasi intelektual tak menjamin integritas moral.
Kasus ini memberi pelajaran penting: reformasi hukum bukan hanya soal konsep, tapi soal konsistensi. Saat panggung pengadilan berubah menjadi teater sandiwara, yang jadi korban adalah keadilan itu sendiri. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.