
Ketika individu terus diminta mengurangi jejak karbonnya, para pemain besar terus melaju tanpa koreksi. Ini bukan ketidaktahuan, ini strategi.
Oleh: Hamdani S Rukiah, SH, MH *
MARI kita mulai dengan satu pertanyaan jujur: siapa yang paling bertanggung jawab atas krisis iklim saat ini?
Jika jawaban yang muncul di kepala Anda adalah “semua orang”, itu mungkin karena terlalu sering kita dicekoki dengan narasi tanggung jawab kolektif yang kabur batas. Kampanye lingkungan selama ini kerap memusatkan perhatian pada tindakan individu: membawa tumbler, mengganti sedotan plastik, atau mematikan lampu saat tidak digunakan.
Sekilas terdengar logis. Tapi narasi ini, jika terus dibiarkan tanpa konteks struktural, bisa menyesatkan.
Strategi Pengalihan yang Sukses
Fakta penting yang sering dilupakan: konsep “jejak karbon individu” bukan murni lahir dari kesadaran kolektif. Ini adalah hasil kampanye cerdas industri bahan bakar fosil — BP, salah satunya — yang pada awal 2000-an meluncurkan kalkulator jejak karbon personal. Tujuannya? Mengalihkan sorotan dari aktivitas korporasi ke kehidupan rumah tangga.
Alih-alih membicarakan pembangkit batu bara, deforestasi, atau konsumsi energi industri berat, publik diajak sibuk menghitung emisi dari kopi takeaway atau AC kamar tidur. Akhirnya, tanggung jawab pun dipersempit menjadi soal moralitas individu, bukan ketimpangan struktural.
Bukan Masalah Upaya, tapi Skala Dampak
Ini bukan soal meremehkan aksi individu. Tetapi ketika emisi karbon dunia didominasi oleh segelintir perusahaan, dan ketika 100 perusahaan menyumbang 71% dari emisi global (data CDP, 2017), kita harus bertanya: mengapa fokus kita masih pada sedotan stainless dan sabun organik?
Baca juga: Sepertiga Bumi Bisa Tak Layak Huni, Dunia di Ambang Krisis
Apakah mudah memang menyalahkan masyarakat umum — yang sudah dibingungkan oleh tuntutan hidup harian — sembari membiarkan aktor-aktor besar beroperasi tanpa pertanggungjawaban serius?
Indonesia dan Kenyataan yang Tak Bisa Diabaikan
Di Indonesia, narasi ini juga hidup. Kampanye lingkungan lebih sering menyasar anak muda untuk “lebih sadar” ketimbang mendorong pembaruan sistem energi, transportasi publik massal, atau akuntabilitas industri ekstraktif.
Baca juga: Perubahan Iklim Lenyapkan Es Abadi Papua, Indonesia Terancam
Padahal, negeri ini punya realitas yang tak bisa ditutup-tutupi: ekspansi sawit, pertambangan nikel, PLTU batubara yang tetap dominan dalam bauran energi, hingga deforestasi atas nama pembangunan. Di sinilah seharusnya sorotan paling tajam diarahkan.

Saatnya Mengubah Narasi
Krisis iklim adalah soal struktur kekuasaan dan distribusi tanggung jawab. Ini tentang siapa yang punya kapasitas untuk mengubah sistem dan siapa yang selama ini menahan perubahan demi keuntungan. Maka, narasi yang adil bukan “semua harus berubah”, melainkan: yang paling berkontribusi, harus paling dulu bertanggung jawab.
Baca juga: Krisis Iklim, Tiga Situs Bersejarah Indonesia Terancam Hilang
Pemerintah perlu menghentikan praktik greenwashing dan memperkuat regulasi yang mengikat sektor-sektor emisi tinggi. Korporasi harus transparan dan akuntabel dalam setiap klaim hijau yang mereka suarakan. Dan publik — alih-alih sekadar diajak mengurangi plastik — harus dibekali informasi yang mendorong mereka menuntut perubahan kebijakan dan memilih pemimpin yang berpihak pada bumi, bukan hanya pasar.
Dari Aksi ke Arah
Aksi individu memang penting. Tapi jika kita berhenti di sana, kita justru membantu para pelaku utama untuk terus melenggang. Kita perlu melampaui gaya hidup hijau personal menuju gerakan kolektif yang menuntut perubahan arah pembangunan dan ekonomi.
Karena pada akhirnya, bukan sedotan plastik yang membuat dunia terbakar. Tapi sistem yang terus membakar demi laba. ***
- Jurnalis, Pemerhati Hukum Lingkungan dan Keadilan Sosial
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.