
Oleh: Hamdani S Rukiah, Pemimpin Redaksi mulamula.id
DI SUDUT warung kampung, kopi hitam diseduh dari air panas yang baru mendidih. Disajikan dalam gelas kaca sederhana, harganya tak lebih dari Rp5.000. Tapi hanya beberapa kilometer dari sana, di tengah pusat perbelanjaan mewah ibu kota, secangkir kopi bisa dihargai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Bedanya bukan pada jenis kopinya saja, tapi pada cerita yang dibangun di sekelilingnya.
Kopi telah naik kelas. Dari simbol kebersamaan di pinggir jalan, kini menjadi penanda gaya hidup dan kemewahan di tengah kota. Bacha Coffee, misalnya, menawarkan 209 varian kopi Arabika dari 35 negara. Harganya berkisar antara Rp128.000 hingga Rp4 juta per teko kecil.
Interior bergaya Maroko, penyajian mewah, dan layanan personal menjadikan kopi bukan lagi sekadar minuman, tapi pengalaman.
Baca: Sensasi Ngopi Mewah Ala Maroko di Bacha Coffee Jakarta
Tapi ketika secangkir kopi bernilai ratusan ribu, pertanyaannya sederhana: berapa yang kembali kepada petani di hulu?
Di Hulu, Petani Tetap Bergulat
Indonesia adalah salah satu produsen kopi terbesar dunia. Tapi, banyak petani kopi masih hidup dalam keterbatasan. Harga beli di tingkat petani bisa serendah Rp25.000 per kilogram green bean—jauh dari nilai jual akhirnya setelah melewati proses sangrai, branding, hingga masuk etalase butik kopi mewah.
Baca juga: Industri Kopi 2025, Era Inovasi dan Ramah Lingkungan
Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan besar dalam rantai nilai kopi. Petani bekerja paling keras, tapi mendapatkan bagian paling kecil. Sementara di hilir, kopi dikemas sebagai produk eksklusif, lengkap dengan narasi etnis, keberagaman rasa, dan estetika yang menggoda dompet kalangan urban.
Branding vs Pemberdayaan
Tidak salah jika kopi dibawa naik kelas. Branding dan presentasi yang baik memang bisa mendongkrak nilai jual. Namun, akan jadi ironi besar jika kopi asal Indonesia justru lebih dihargai di Paris atau Tokyo, sementara petani lokal tak pernah merasakan dampaknya secara nyata.

Apakah mungkin menciptakan sistem kopi yang lebih adil? Bisa. Banyak contoh produsen kopi lokal yang kini mulai membangun relasi langsung antara petani dan konsumen, seperti skema fair trade, koperasi petani, atau bisnis kopi yang berprinsip keberlanjutan. Ini model yang patut ditiru, bahkan oleh brand besar sekalipun.
Konsumen Punya Kuasa
Dalam dunia kopi, konsumen juga punya kekuatan. Kita bisa bertanya lebih jauh saat membeli: siapa yang menanam? Apakah petaninya mendapatkan harga yang layak? Apakah ada jejak keberlanjutan dalam prosesnya?
Baca juga: Black Ivory: Kopi Termahal Dunia dengan Cara Produksi tak Biasa!
Karena pada akhirnya, secangkir kopi bukan hanya tentang rasa, tapi tentang nilai. Tentang siapa yang dihargai, dan siapa yang dilupakan.
Naiknya kopi ke meja-meja mewah bukanlah masalah. Yang jadi soal adalah jika keindahan itu tak menyentuh tangan-tangan yang menanamnya. Maka, sudah saatnya kopi Indonesia tak hanya naik kelas, tapi juga membawa naik nasib para petaninya. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.
Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA