
Oleh: Hamdani S Rukiah, SH, MH *
SENGKETA batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara kembali menghangat. Empat pulau kecil yang terletak di perairan sekitar Aceh Singkil—Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—menjadi sumber ketegangan baru di antara dua provinsi bertetangga tersebut. Isu ini tidak sekadar tentang garis koordinat di peta, tetapi menyentuh aspek hukum, politik, sejarah, hingga sentimen identitas daerah.
Dalam situasi yang terus berkembang ini, muncul pertanyaan penting: ke mana arah akhir kisah sengketa 4 pulau ini? Mari kita telusuri lebih dalam.
Dasar Hukum, MoU Helsinki Jadi Fondasi Kuat Aceh
Sejak awal, dasar hukum yang menjadi rujukan utama Aceh cukup jelas. Pada 15 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, yang menjadi titik balik penting bagi status politik dan administratif Aceh pasca-konflik panjang.
Salah satu poin krusial dalam dokumen tersebut adalah butir 1.1.4 yang menyatakan: “Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.” Ini bukan sekadar kalimat formal, melainkan pijakan legal yang secara eksplisit mendefinisikan batas administrasi Aceh sebagaimana yang berlaku pada pertengahan 1956

Mengapa 1956? Karena pada tahun tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Undang-undang yang ditandatangani Presiden Soekarno itu menjadi kerangka formal pertama pembagian administratif kedua provinsi. Artinya, sejak 1956 posisi keempat pulau tersebut secara administratif berada dalam wilayah Aceh, khususnya Kabupaten Aceh Singkil yang kini menjadi episentrum sengketa.
Pajak dan Kehadiran Penduduk, Penguatan Effective Control
Tak hanya soal hukum tertulis, realitas administratif di lapangan memperkuat klaim Aceh. Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla (JK), yang turut angkat suara dalam polemik ini, menyatakan bahwa selama ini penduduk di pulau-pulau itu membayar pajak ke Aceh Singkil.
Baca juga: 4 Pulau Sengketa Aceh-Sumut, Ini Alasan Pusat Memutuskan
Hal ini penting, karena dalam banyak sengketa batas wilayah di berbagai negara, prinsip effective control atau penguasaan efektif menjadi salah satu instrumen yang diakui dalam hukum tata negara maupun internasional.
Dengan adanya aktivitas administrasi, pembayaran pajak, serta pengakuan dari masyarakat setempat terhadap pemerintah daerah Aceh, posisi Aceh secara de facto semakin kokoh.
Argumen Sumut, Kedekatan Geografis Bukan Penentu Mutlak
Di sisi lain, Sumatera Utara mendasarkan sebagian argumennya pada faktor kedekatan geografis. Letak beberapa pulau memang secara fisik lebih dekat dengan garis pantai Sumut, khususnya Kabupaten Tapanuli Tengah.

Namun dalam konteks hukum administrasi wilayah di Indonesia, kedekatan geografis bukanlah satu-satunya kriteria utama. JK bahkan mencontohkan situasi serupa di Sulawesi Selatan, di mana terdapat pulau yang secara geografis dekat dengan Nusa Tenggara Timur, tetapi tetap berada dalam yurisdiksi administratif Sulawesi Selatan.
Ini lumrah terjadi, apalagi dalam negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki ribuan pulau kecil dengan konfigurasi geografis yang kompleks.
Politik Administratif Pusat, Faktor Penentu Akhir
Meski Aceh secara hukum historis tampak lebih kuat, namun penyelesaian sengketa ini tetap bergantung pada keputusan politik-administratif pemerintah pusat. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sebagai lembaga teknis yang menangani penegasan batas wilayah antarprovinsi, memegang peranan kunci dalam memproses dan memutuskan status final empat pulau tersebut.
Baca juga: Alkisah 4 Pulau Aceh yang ‘Hijrah’ ke Sumatera Utara
Praktik penegasan batas wilayah di Indonesia kerap kali melibatkan negosiasi panjang, baik di tingkat daerah, pusat, hingga legislatif. Selain memperhatikan dokumen hukum, pemerintah pusat biasanya mempertimbangkan pula aspek stabilitas sosial-politik, harmonisasi hubungan antarprovinsi, serta suara aspirasi masyarakat setempat.
Potensi kompromi politik, seperti pembagian kewenangan administratif tertentu, pembentukan kawasan perbatasan bersama, atau mekanisme pengelolaan bersama sumber daya (joint management), bisa saja muncul sebagai solusi kompromi yang mengakomodasi kepentingan kedua provinsi.

Jangan Abaikan Dimensi Sosial
Di luar aspek hukum dan politik, penting juga melihat dimensi sosial dari sengketa ini. Identitas masyarakat pulau-pulau tersebut, koneksi sosial-ekonomi mereka ke Aceh Singkil, serta keinginan penduduk lokal terhadap administrasi yang selama ini mereka akui, merupakan bagian dari persoalan yang tidak boleh diabaikan.
Baca juga: Sengketa Empat Pulau Aceh-Sumut, Ujian Nyata Otonomi Khusus
Mengabaikan aspirasi masyarakat lokal berisiko menimbulkan ketegangan sosial baru. Oleh karena itu, selain negosiasi antar-elit, penyelesaian masalah ini sebaiknya melibatkan proses partisipatif dengan mendengar suara warga yang terdampak langsung.
Mengapa Pemerintah Harus Segera Bertindak?
Lambatnya penyelesaian sengketa batas wilayah kerap memunculkan ketidakpastian hukum yang bisa berujung pada konflik horizontal di tingkat akar rumput. Karena itu, pemerintah pusat idealnya segera mengambil keputusan final, berbasis hukum, data administratif yang valid, serta aspirasi masyarakat lokal.
Penundaan hanya akan memperpanjang ketegangan, memperumit relasi antar daerah, serta membuka ruang spekulasi politik yang kontraproduktif bagi stabilitas nasional.
Ke Mana Arah Akhir Kisahnya?
Jika mengikuti pijakan hukum, Aceh memiliki posisi argumentasi yang lebih kokoh. Rujukan MoU Helsinki dan UU 24/1956 memberikan fondasi legal yang jelas. Ditambah penguasaan administrasi efektif di lapangan, Aceh berpeluang besar memenangkan status administratif atas keempat pulau itu.
Namun, proses final tetap berada di tangan pemerintah pusat yang kemungkinan akan menempuh jalur kompromi politik untuk meredam potensi ketegangan. Apapun mekanisme akhirnya, penyelesaian ini bisa menjadi preseden penting dalam penataan batas wilayah di Indonesia yang selama ini kerap menyimpan bara laten. ***
- Penulis adalah Pemimpin Redaksi mulamula.id dan Direktur Pemberitaan sustainreview.id.